Keep Move On 'coz if you don't CHANGE you'll DIE

Senin, 30 Desember 2013

Memperjuangkan Kriteria Cinta

 
 
 
Menikah itu bukan hanya urusan dunia saja, Sayang. Menikah adalah perkara yang juga akan dibawa di akhirat kelak. Makanya,pertimbangannya juga tidak boleh hanya pertimbangan duniawi saja. Bahkan seharusnya, pertimbangan akhirat yang memiliki bobot yang lebih tinggi. Karena kita akan hidup lebih lama di akhirat daripada di dunia, bukan?
#repost statusnya EDCOUSTIC

Hari I
“Jadi bagaimana Pak keputusan terakhirnya…?” Zahra bertanya to the point memecah kebisuan yang merebak di antara keduanya. Bapak, orangtua yang tinggal satu-satunya dengan dirinya, putri pertama yang dikenal penurut.
“Bolehkah….?”Lanjutnya saat belum jua terdengar suara.
“Tidak…” ucap si Bapak perlahan seperti takut jawabannya akan menyakitkan.
“Apakah benar- benar tak bisa dinego…?” Zahra coba kembali mengais kesempatan.
“Sudah bapak bilang tidak… sudah bapak timbang baik-baik beberapa hari ini, tak mungkin kulepas putriku pada lelaki yang tak bisa tiap hari pulang karena pekerjaan, dan terlebih lagi tak sebanding antara pengorbanannya dan gaji yang ia terima… pendidikanya juga biasa saja… keluarga dan kerabatnya jauh tak mudah ditemui untuk silaturrahmi… berat… ”lanjut bapak menjabarkan sederet alasan.
“Apa benar-benar tidak bisa…”Zahra kembali memastikan.
“Tidak…” jawab bapak singkat.
Zahra diam tidak membantah.

Hari II
“Bapak bilang tidak boleh… benar seperti yang diperkirakan… pekerjaan antum yang jadi simpul penghalang…” Zahra mengabarkan pada Syam, Si Lelaki Cahaya.
“Ya sudah tidak apa-apa… kewajiban anak patuh dan nurut dengan orang tua…” bijak Syam memberi jawaban.
“Saya akan coba perjuangkan lagi...” Zahra memberi harapan.
“Wajar seorang ayah ingin yang terbaik untuk putrinya… ada baiknya anti mencari keridhoan orang tua… ikhtiar sudah dilakukan… apapun hasilnya… pasrahkan saja padaNya… ” lanjut Syam
“Baik… InsyaAlloh Jum’at besok saya kabari…” Zahra mengakhiri.

Hari III
“Maaf Pak, untuk kali ini saya kurang sepakat dengan keputusan Bapak… bagi saya alasan penolakan yang Bapak utarakan jujur hingga saat ini belum bisa saya terima… sekeliling saya merekomendasikan dengan lelaki karakter seperti itu… terlalu sayang untuk dilepaskan… beliau mau menerima kekurangan fisik dan gangguan kesehatan yang saya derita… dan yang terpenting beliau bisa menerima “dunia dakwah” yang saya geluti dengan segala konsekuensinya… maaf Pak untuk kali ini saya kurang sepakat… apa benar-benar keputusan bapak tidak bisa dipertimbangkan ulang…?” Zahra memberanikan diri menyampaikan pendapatnya.
“Ridho Bapak adalah syarat yang utama… beliau tidak memaksa… terserah Bapak… hanya ikhtiar kemudian pasrah saja..”Zahra melanjutkan.
“Baiklah… Bapak anggap kamu sudah siap dan memikirkan semua resiko yang akan kalian hadapi… silahkan… bapak ridho…” Bapak memberikan keputusan akhirnya.

Hari ini
Ijab Qobul pernikahan sudah terjadi, hidup bersama sudah mulai dijalani.Si Bapak dan Zahra hanya bisa bersyukur memilih Syam, sang lelaki cahaya sebagai bagian keluarga. Lelaki yang berusaha sholat berjamaah di setiap fardhunya. Berlama-lama saat ruku dan sujudnya. Menjaga wudhu di setiap waktu matanya terbuka. Dan berusaha tidak lupa sujud tilawah setiap ayat sajdah yang ia temui ketika mengaji. Dan semua itu jauh lebih menentramkan dari pada seraut wajah yang tampan, bergelimangnya kekayaan, atau baiknya nasab keturunan. Tak akan kecewa yang menikah atas dasar pilihan agama.

Waaaah… panjang juga kisah pembukanya. Tak penting ini kisah fiksi atau nyata. Ibrohnya, sepertinya sebagian pembaca sudah bisa menduga.Ya, tentang bagaimana menetapkan standar kriteria dalam urusan pernikahan. Baik bagi yang menjalani maupun yang terbebani kewajiban mencarikan jodoh untuk putra dan putri tercinta. Banyak dari kita sudah tahu secara teori, bagaimana Islam menuntun umatnya.

“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi rupanya untuk tataran aplikasi, tak bisa dipungkiri masih banyak orang tua dan “calon pengantin” yang pilih-pilih atau terlalu berlebihan menetapkan standar kriteria. Harus putih, tinggi , mulus wajah dan kulitnya, keturunan ningrat, strata satu minimal pendidikannya, jelas hitungan gaji per bulannya, apa tipe dan merek kendaraan yang dimilikinya, berapa meter persegi luas rumah dan aset pribadinya. Waah saya terlalu berlebihan sepertinya menyebutkannya. Bukan berarti tidak boleh, tentu sah–sah saja. Semua hal yang baik-baik itu bisa dimasukkan dalam list kriteria kita. Tapi apakah sudah tepat urutan yang kita pakai saat membuat standar kriteria. Apakah akhlak dan agama menempati urutan pertama atau sebaliknya justru menempati urutan paling buncit… paling akhir. Mana yang lebih kita dahulukan pertimbangan duniawi atau pertimbangan akhirat.

Padahal jika kita rasional, mana yang lebih awet “daya tahan” dan “daya guna” nya bagi kita. Yang bersifat duniawi dan materi seperti keindahan fisik dan berlimpahnya harta atau indahnya akhlak dan iman yang terjaga. Dua yang pertama masa menikmatinya berbatas waktu. Sebaliknya dua yang selanjutnya saya kira lebih bisa tahan lama. Lebih bisa berguna bahkan saat kita sudah tidak lagi di dunia. Akhlak yang indah dan iman yang terjaga lebih berpotensi mendorong seorang manusia untuk mendulang banyak pahala. Dan itu bekal yang sejatinya kita bawa sesudah akhir dunia. Dan kehidupan sesudah dunia itu jauh lebih lama. Sebagaimana kata hikmah dari Fanpage tim Nasyid ternama EDCOUTIC di atas.

Menikah itu bukan hanya urusan dunia saja, Sayang. Menikah adalah perkara yang juga akan dibawa di akhirat kelak. Makanya,pertimbangannya juga tidak boleh hanya pertimbangan duniawi saja. Bahkan seharusnya, pertimbangan akhirat yang memiliki bobot yang lebih tinggi. Karena kita akan hidup lebih lama di akhirat daripada di dunia, bukan?

Soal itu Allah sudah jelas-jelas menerangkan dalam firman Nya
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
(QS. Al-Ankabut ayat 64)

Baiklah sedikit saran telah selesai disampaikan. Untuk para orang tua dan “calon pengantin” akankah tertarik mengubah nomor urutan standar yang telah ditentukan…? Well…di tangan andalah letak semua keputusan dan pilihan. Wallahu’alam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Minggu, 22 September 2013

Sebuah Fragmen Persiapan Pemimpin Masa Depan

Jika kau hidup untuk dirimu sendiri… maka bolehlah kau terpuruk selamanya..
tetapi lihat kiri-kananmu… lihat mereka… wajah-wajah itu.. harapan–harapan itu…

bangkitlah kawan… kaulah pelita di remangnya realita…!! kau istimewa bersama dakwah..!!!

#karena kita seorang muslim…!!


[Sarwo Widodo Arachnida]

“Interupsi…! Saudara pimpinan…” ucap pria muda yang ada di ujung pojok kanan ruangan dengan logat tegas, khas luar jawa. “Ana rasa sebelum palu keputusan diketuk ada baiknya kita tinjau kembali dan menyamakan persepsi mengenai laporan pertanggungjawaban kali ini… ” lanjutnya dengan nada yang cukup serius. Setelah beberapa argumentasi akhirnya keputusan pun diambil, palu pimpinan “sidang” diketuk di atas meja.

Selang berapa waktu, peserta sidang terbagi menjadi dua dan masing-masing berpisah menuju tempat berbeda untuk melanjutkan “sidang” sesuai tema pembahasan yang telah tertera. Dan ternyata, meski di ruangan yang berbeda greget pria muda itu masih sama. Penuh perhatian dengan tema, mengulas permasalahan dengan gamblang dan berusaha memaparkan solusi sambil sesekali membaca teliti kertas draf yang terpegang oleh jari. Dan ia tidak sendiri, hampir sepertiga perserta “sidang” yang saya ikuti memiliki tipikal yang sama.

Jangan salah… yang saya ikuti bukanlah para anggota legislatif di gedung dewan sana. Mereka yang ada di hadapan saya murni masih mahasiswa. Mereka para calon pemimpin masa depan negeri ini, mereka tengah melaksanakan Musyawarah Daerah KAMMI Surabaya di gedung sederhana daerah pinggiran kota Pahlawan.

Subhanallah…!!! Saya katakan lirih dalam hati. Sejatinya Republik ini belum benar- benar kehilangan harapan… masih ada pemuda dan pemudinya yang memiliki rasa peduli dengan masa depan negeri ini. Merekalah nantinya yang diharapkan jadi pengusung aspirasi umat lewat pintu birokrasi. Dan lewat agenda –agenda semacam itulah mereka ber-tafaqquh, menempa dan meningkatkan kompetensi mereka. Sebab bukan tidak mungkin berapa tahun lagi ke depan di tangan merekalah tampuk kepemimpinan negeri ini. Dan ketika saat itu tiba mereka harus sudah siap.

Sebagaimana pesan hikmah Khalifah Umar bin Khattab berikut ini,
“Bertafaqquhlah kalian(bangun kompetensi) sebelum kalian menjadi pemimpin, sebab setelah kalian menjadi pemimpin, tidak akan ada lagi cukup waktu untuk bertafaqquh”

Begitu hakikatnya mahasiswa sejati. Bukan hanya lembar–lembar buku diktat kuliah yang penuh teori saja yang mesti dipelajari. Tak hanya duduk manis sambil terkantuk-kantuk mendengar kuliah dari dosen yang mengisi materi. Tak sekedar menghabiskan waktu beberapa tahunnya di bangku kuliah hanya demi selembar ijazah sarjana saja yang menjadi orientasi. Bukan… bukan itu mahasiswa sejati.

Sejatinya, mahasiswa adalah sosok yang berbeda. Mereka lebih cerdas dan berilmu dari pada anak muda biasa. Mahasiswa mempunyai kesempatan lebih untuk meningkatkan kompetensi dan menemukan hakikat dirinya. Apalagi mahasiswa muslim, mereka memiliki “beban” tanggung jawab lebih yakni bagaimana meski tengah mencari ilmu, mereka tetap bisa dengan segera mengamalkan ilmu dan memberi manfaat bagi umat. Bagi mereka pun turut berlaku Sabda Nabi: ”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni.)

Menjadi mahasiwa yang bermanfaat bagi umat, caranya beragam. Salah satunya yang bisa dipilih yakni ikut aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa yang tepat. Organisasi yang tidak hanya sekedar memfasilitasi hobi dan kesenangan yang sifatnya pribadi. Alangkah lebih baik dan lebih bijak jika bergabung dengan organisasi mahasiswa yang bisa memberi ruang bagi potensi yang dimiliki serta mampu menjembatani untuk meningkatkan kompetensi diri. Dan tentu saja, organisasi yang mampu melindungi idealisme kita sebagai seorang muslim. Organisasi yang tetap membuat ibadah–ibadah harian kita baik yang wajib maupun sunnah tetap terjaga di tengah kesibukan menjalankan roda organisasi. Bahkan jika bisa, malah justru memotivasi kita untuk meningkatkannya. Dan organisasi yang kita ikuti tersebut turut pula mengasah kepekaan sosial kita terhadap problematika masyarakat dan berusaha berfikir dan bekerja inovatif memberi solusi nyata bagi permasalahan tersebut.

Maka bagi mahasiswa adalah penting untuk peka dan selektif memilih organisasi yang akan diikuti. Dan biasanya organisasi yang layak jadi rekomendasi adalah organisasi yang mengusung bendera dakwah. Bukan berarti di dalamnya isinya kajian melulu. Atau membuat gengsi kita menurun sebagai mahasiswa karena trekesan udik dan terbelakang. Justru biasanya organisasi yang bernaung di bawah bendera dakwah justru menjanjikan paket lengkap. Sisi Akademis, manajerial, kepemimpinan, kepekaan sosial dan religiusitas terakomodir dengan memadai.

Tidak percaya. Coba saja…!!! [Kembang Pelangi]

Selasa, 27 Agustus 2013

Mengenal Karakteristik Jama'ah-jama'ah Dakwah

Dakwah akan menjadi tinggi…saat pribadi yang membawanya…sama indah… dengan apa yang di bawanya…
[ Sarwo Widodo Arachnida ]

Radikal…!!! Sampeyan itu terlalu radikal…! Ucapan itu tiba –tiba meluncur tanpa diduga dari lelaki separuh baya yang ada di ujung meja, ayahnya. Sebuah ucapan yang belum pernah didengar sebelumnya. Tidak sekalipun sejak ia mengenal dan memutuskan bergabung dalam barisan kafilah dakwah, pengusung risalah para anbiya'. Kata “radikal” itu membuatnya menginsyafi, sepertinya kali ini ia salah langkah…salah memilih strategi dalam berdakwah. Tiba–tiba mucul sebuah tanya “seperti apakah format dakwah yang ideal itu sejatinya…? ”

Dewasa ini, dakwah Islam mengalami perkembangan. Beragam jamaah dengan berbagai bendera pun bermunculan. Yang mana hampir bisa dipastikan semua jamaah mengaku berjuang dan berdakwah di jalan Allah. Dan masing–masing jamaah mempunyai spesifikasi tertentu dalam dakwah yang mereka usung. Setiap jamaah dakwah mempunyai pendekatan dan sudut pandangnya sendiri. Tanpa perlu menghakimi siapa yang paling unggul dan terbaik. Ada baiknya kita mencoba mengenali sebagian di antaranya. Berikut ini beberapa jamaah beserta karakterisiknya sebagainya pernah disampaikan ustadz Amir Faishol Fath.

Jamaah yang satu ini terlihat begitu cinta dengan masjid. Mereka tak hanya sekedar mencintai masjid, mereka berusaha menghidupkannya. Cara dakwah mereka berkunjung dari masjid ke masjid. Isu utama yang mereka usung ketika menyampaikan dakwahnya adalah mengenai makna laa ilaha illaah. Sering kali terutama selesai shalat berjamaah mereka dengan penuh keyakinan menyampaikan pentingnya memaknai laa ilaha illallah sebagai pondasi untuk meraih kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana, yang jamak terjadi kini banyak muslim yang mengucapkan laa ilaha illallah tapi dalam kehidupan sehari–hari masih tetap menomor duakan Allah. Melaksanakan shalat tapi tetap bermaksiat. Halal dan haram aturan Allah sering dicampuradukkan. Dosa dan ketaatan masih dijalankan beriringan. Maka, ada kalimat pengantar yang menjadi ciri khas jamaah ini saat memberi taushiah yakni inna najaahanaa wa falaahanaa fiddunya wal akhirah biqodri a’maalinaa bi laa ilaha illallah yang kurang lebih artinya sesungguhnya kesuksesan dan kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat sangat tergantung pada kesungguhan kita dalam mengamalkan laa ilaaha illallah. Meski jamaah ini jarang, bahkan menghindari membicarakan isu dan tema politik anggota jamaah ini tergolong kumpulan orang–orang yang santun penuh persaudaraan. Hampir tidak pernah menjelek-jelekkan, mencaci dan memusuhi jamaah dakwah lainnya. Mereka larut dalam kesederhanaan gaya penampilan dan dakwah mereka. Mereka meyakini bahwa dakwah itu untuk memperbaiki bukan untuk menghakimi apalagi mencaci. Mereka mengisyafi mungkin cara mereka bisa dibilang terlalu tradisional dan mengesampingkan teknologi, tapi bagian merekalah menangani sisi–sisi yang belum tersentuh oleh jamaah dakwah lainnya

Jamaah yang satu ini berbeda lagi. Biasanya mereka duduk khusuk di selasar masjid sambil jemari menggengam tasbih panjang. Mulutnya tak berhenti berdzikir. Ibadah ritual yang menjadi kosentrasi mereka. Terkadang hingga membuat mereka mengacuhkan urusan dunia. Tak makan berhari-hari tak menjadi masalah bahkan dianggap sebagai pencapaian puncak ruhani. Lupa kewajiban pada anak dan istri. Tak hanya itu, bermunajat pada Allah dengan gerakan menari berputar–putar adalah salah satu ciri. Sebagian dari mereka menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan isyari (simbolik) yakni ayat Al Qur’an tak lagi dipahami sesuai makna bahasa Arab yang asli melainkan sebagai simbol dari makna ruhani yang mereka pahami. Para ulama tafsir dan ulumul Qur’an banyak yang tak sepakat dengan hal ini. Banyak yang mengkritisi apa yang dilakukan jamaah ini, sebab Islam yang dibawa Rasulullah ini universal mencakup segala hal bukan hanya ritual. Sebagimana pula yang Rasulullah contohkan, tak hanya rajin shalat tapi juga berjihad di medan perang. Tak hanya dzikir tapi urusan ekonomi dan Negara juga dipikir. Tidak timpang sebelah. Islam hadir tak hanya untuk menajamkan ruhiah kemudian menumpulkan sisi lainya. Justru Islam hadir sebagai solusi untuk semua dimensi.

Jamaah selanjutnya, ia begitu aktif mempromosikan berdirinya khilafah. Jamaah ini berpendapat jika umat Islam kehilangan kekuatannya akibat runtuhnya khilafah yang dianggap sebagai wadah politik untuk menegakkan ajaran Islam. Jamaah ini aktif menggelar beragam kajian dengan tujuan agar wawasan intelektual kaum muslim terbuka dalam berbagi hal. Terlebih mengenai pemahaman Islam dan permasalahan yang berkutat dalam hal intelektual. Namun, kita semua menyadari jika masalah umat ini tak hanya itu. Umat ini perlu tarbiyah yang berkesinambungan untuk menuju tegaknya kembali khilafah ala minhaji nubuwwah. Khilafah yang dulu pernah ada bukan datang begitu saja. Khilafah hadir dalam rentang sejarah perjuangan yang panjang dan pembinaan yang tanpa henti. Meski terkadang keterikatan secara emosional lebih terasa kuat dalam anggota jamaah ini, tetapi signifikansi kontribusi jamaah ini dalam menghadapi tantangan berbagai aliran pemikiran yang menyimpang di tengah masyakat layak untuk dibanggakan. Kita mesti mengakui hal tersebut sebagai terobosan yang mungkin belum dimiliki jamaah lain.

Berikutnya, jamaah kali ini berperan kongkrit dalam menyelesaikan masalah pembinaan akidah dengan kembali memahami nash –nash hadits dengan begitu selektif. Melalui proses tahqiq yang mereka lakukan, banyak hadits–hadits Rasulullah yang awalnya tak diketahui kedukukannya kemudian menjadi jelas klasifikasinya antara yang shahih dan yang dhaif. Menurut jamaah ini kembali pada tuntunan Rasulullah adalah keharusan sehingga tak jarang mereka menghadang fenomena apa saja yang menurut kacamata mereka tak ada nashnya dari Rasulullah. Meski tak jarang sebagian dari mereka yang begitu bersemangat menggebu mudah menjatuhkan anggapan sebuah fenomena yang yak ada teksnya dari Rasulullah sebagai sebuah bid’ah. Sebab tidak semua fenomena perkembangan hidup manusia modern tercover secara lengkap dan mendetail pada zaman rasulullah. Tak sedikit perkembangan tersebut yang membutuhkan ijtihad–ijtihad baru sehingga hal ini mehadirkan lahirnya ulama-ulama fiqih. Yang mana ulama–ulama tersebut menghasilkan berbagai dokumentasi terkait kajian fiqih yang kadang dengan alasan bahwa kita sudah memiliki teks hadits Rasulullah langsung yang mungkin hanya perdasarkan pemahaman versi ilmu sempit kita ijtihad-ijtihad dari ulama fiqih tersebut jadi terabaikan. Dan berujung mudah menjatuhkan vonis ahlu bid’ah atau takfir pada yang jamaah kurang sejalan. Bukankah perbedaan ijtihad belum pernah akan jadi alasan yang cukup untuk saling bertentangan dengan sesama muslim.

Jamaah terakhir yang dibahas kali ini, bersifat komperhensif. Jamaah ini memperhatikan betul pentingnya tarbiyah dan pembinaan keislaman yang utuh. Mereka mencoba memahami manhaj dakwah Rasulullah secara utuh tidak sepotong-sepotong.. Bukan mengambil sebagian kemudian menolak sebagian yang lain. Tak hanya masalah aqidah, fiqih, atau akhlaq sesama manusia namun juga permasalahan ekonomi dan pengelolaan negara. Hal–hal yang prinsip mereka perjuangkan. Mereka menekankan pentingnya bahasa Arab dan mendalami ilmu pengetahuan agama. Begitupun dalam hal ibadah hampir selalu terkontrol peningkatan dan perkembangannya tiap pekan. Sehingga dengan pembinaan intensif yang mereka lakukan diharapkan anggota jamaahnya akan memiliki kualifikasi pribadi muslim yang aqidahnyabenar, ibadahnya benar, akhlaqnya kokoh, pengetahuanya luas, fisiknya kuat dan sehat, produktif dalam hal ekonomi, efektif dan efisien dalam manajemen diri dan waktu dan tentu saja, menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain. Jamaah ini berpendapat jika komitmen para anggota terhadap Islam lebih penting untuk membesarkan jamaah ini dari pada penokohan terhadap sosok tertentu yang ada dalam jamaah.

Demikianlah pemaparan keempat jamaah yang cukup mempunyai ruang dalam dakwah Islam. Ada baiknya jika masing–masing jamaah mempunyai pemahaman jika mereka adalah bagian dari jamaah umat Islam yang besar ini sehingga mereka tak akan pernah memaksakan bahwa umat Islam harus satu kubu dan satu suara dengan jamaah tersebut. Sebab yang terpenting adalah bagaimana bagimana jamaah–jamaah Islam ini bersinergi membangun pilar–pilar kebangkitan Islam dengan cara yang santun dan sesuai dengan syariat tapi juga tetap bisa diterima baik oleh masyarakat. Sebab indahnya Islam yang disampaikan sama indahnya dengan para dai yang membawanya, berasal dari manapun jamaahnya. Semoga… [Kembang Pelangi]

*disarikan dari opening buku Mencari format Gerakan Dakwah Ideal karya Dr. Shodiq Amin

Honeymoon di Toko Buku

karena buku adalah lorong_waktu…
dengannya aku bisa "mendengar" dan belajar langsung pada orang-orang terhebat dari berbagai bangsa dan masa…bahkan yg tak mungkin terjangkau oleh umurku sekalipun.

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Woow… cocok ini buat honeymoon... ” katanya sambil takjub melihat sekeliling. “Sepertinya tempat ini jadi tujuan pertama setelah akad nikah suatu saat nanti… hi hi hi” tukasnya lebih lanjut sambil terkekeh. Sedang gadis manis di hadapannya hanya bengong memandang dengan tatapan heran. “Dasar memang akhwat antik… masak iya honeymoon di toko buku… apalagi di Gramedia… “ Mungkin itu yang bakal terucap jika tatapan itu diterjemahkan. Hmmm… toko buku jadi tujuan honeymoon… tak terlalu aneh juga… apalagi bagi sepasang kutu buku.

Begitulah hebatnya buku. Ia bisa jadi begitu mempesona… apalagi bagi yang begitu menyukainya. Tak hanya itu, buku itu terkadang bersifat magis. Ia begitu ajaib… ia tak hanya jadi jembatan penghubung bagi beragam ide dan ilmu antar generasi. Tak jarang buku jadi sarana provokasi yang cukup ampuh. Buku menjadi sangat tangguh untuk memberi pengaruh bahkan boleh jadi membalik sudut pandang berfikir bagi pembacanya. Ia bisa jadi bermata dua, berimbas positif atau negatif.

Sejarah telah mencatat… tak berbilang buku yang berjajar merebut simpati pembaca sebagai bacaan paling favorit dan paling laris sepanjang masa. Sebut saja novel Harry Potter karangan JK. Rowling, siapa manusia di belahan bumi ini yang tak mengenalnya. Novel yang setiap serinya ditunggu kedatangannya. Begitu pula adaptasi filmnya di layar lebar hampir selalu tak kehilangan penggemar. Tak heran jika pengarangnya mendadak menjadi kaya raya ketika karya-karyanya menjadi fenomena. Dan novel ini tak sendiri tak sedikit pula karya fiksi lain yang mengiringi seperti Da Vinci Code karya Dawn Brown, The Lord of the Rings, dan Novel klasik The Alchemist yang terbaca dan terjual paling sedikit 50 juta copy di seluruh dunia.

Jangan salah, tak hanya buku fiksi yang mendapat sambutan yang hangat. Buku non fiksi juga layak mendapat tempat. Buku Merah, demikian orang ramai menyebutnya. The Little Red Book (Quotations from Chairman Mao Tse-tung) adalah salah satu buku non fiksi yang cukup mencengangkan sebagai salah satu buku yang paling banyak dibaca sepanjang masa. Terjual 830 juta eksemplar di seluruh dunia dan diterjemah dalam berbagai bahasa. Buku ini adalah antologi kutipan yang diambil dari tulisan dan pidato Mao Tze Tung (Mao Ze Dong) tokoh komunis Cina. Sebagaimana dikatakan tadi buku adalah jembatan ide, demikian pula buku satu ini jadi penyambung lidah bagi tokoh komunis tersebut untuk menamkan dan memperluas jaringan ideologinya pada generasi selanjutnya. Tak mengherankan jika antara tahun-tahun 1966 dan 1971 adalah merupakan suatu keharusan bagi setiap orang Cina dewasa memiliki dan membaca buku tersebut.

Jika kisah fiksi yang terkadang lebih fasih disebut cerita mimpi dan ideologi semacam komunis menjadikan buku sebagai sumber dan sarana propaganda “manhaj” mereka. Maka adalah sebuah kewajaran atau lebih tepatnya keharusan jika dakwah Islam dan para da’i untuk berkawan baik dengan buku sebagai sumber dan sarana penyampai “manhaj Islam” dari generasi ke generasi. Sebab, hal itu tentu sangat relevan dengan ayat-ayat perdana yang Allah turunkan kepada Rasul terakhirNya.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptkan. Dia telah menciptakan manusia dari (sesuatu) yang melekat. Bacalah !,dan Tuhanmu Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al Alaq 1-5)

Umat muslim, khususnya yang menyandang gelar sebagai da’i penerus risalah para anbiya’ sebaiknya tidak menjauhi apalagi alergi dengan 2 hal ini yakni membaca dan buku. Dengan membaca, otomatis akan semakin memperkaya keilmuan yang dimiliki dan diharapkan nantinya mampu memberi maslahat bagi diri pribadi dan ummat tentunya. Dengan membaca, mereka dapat menelusuri kembali jejak–jejak sejarah kejayaan Islam dengan harapan mampu memunculkan azzam untuk menegakkannya kembali. Dengan membaca, tentu akan menambah khazanah hujjah saat mencoba mencari solusi atas suatu masalah terutama masalah fiqih atau semacamnya. Dengan banyak membaca, seorang muslim akan mampu berbagi banyak pengetahuan baru pada saudara sesama muslim lainya yang belum tahu. Dengan begitu kemanfaatan seorang individu bagi ummat semakin meningkat dan Sabda Nabi tak hanya jadi slogan basi.

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain
(HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni.)

Dan 2 hal tersebut adalah kebiasaan para generasi muslim terdahulu bahkan mereka tak sekedar membaca, mereka pula penulis dari buku–buku terkenal yang bermanfaat bagi generasi muslim masa kini. Bahkan tak sedikit pula buah karya mereka menjadi rujukan bagi kaum non muslim. Sebut saja beberapa contohnya seperti, Al Qanun Al-Tibb yang di Barat dikenal dengan The Canons karya Ibnu Sina yang menjadi rujukan wajib bagi dunia kedokteran. Kemudian, Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih) dan Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran) karangan Ibnu Rusydi yang tak kalah populer. Atau, tulisan–tulisan Al Khwarizmi sebagai penemu Al jabar dan angka nol yang begitu penting di dunia matematika modern. Mereka contoh nyata bagaimana Islam sejatinya tak pernah terpisahkan dengan ilmu, membaca dan buku.

Begitupun para pembesar baik di negeri ini maupun belahan dunia sana hampir tak ada yang berjarak dengan buku. Sebutlah Soekarno, bung Hatta, Habibie, Mao Tze Tung, Lenin, dan bahkan Hitler sekalipun. Mereka semua akrab dengan buku. Jadi, jika boleh digaris bawahi bahwa membaca buku turut menjadi salah satu variabel yang mendorong mereka menjadi orang–rang besar di zamannya.

Maka, sekali lagi tak boleh ada kata alergi dalam hal membaca buku bagi generasi muslim masa kini. Sebab salah satu pilar kebangkitan Islam adalah ilmu. Yang bisa jadi kebangkitan dan kejayaan Islam itu akan terasa semakin dekat jika kita akrab dengan salah satu sumbernya ilmu yakni buku.

Tak akan menyesal orang- orang yang menghabiskan waktu dengan membaca buku. Jika tidak sekarang, besok lusa boleh jadi akan bermanfaat apa yang dibacanya tersebut.
(Tere Lije)

Minggu, 11 Agustus 2013

Administratif Surat Nikah


Artikel berikut saya dapatkan dari wolipop.com. Sengaja saya salin di sini sebenarnya untuk bookmark untuk diri sendiri, siapa tau nanti-nantinya butuh #eeaa

Artikelnya adalah tentang cara mengurus surat nikah di KUA. Berikut artikelnya.
Di tengah persiapan mengurus catering, busana, sampai dekorasi, jangan sampai lupa mengurus surat nikah.

Surat nikah merupakan tanda bukti resmi kalau pernikahan Anda dan pasangan telah sah dan dicatat oleh negara. Memang banyak calon pengantin yang enggan mengurus sendiri surat nikah karena kesibukan atau malas membayangkan prosesnya yang rumit. Biasanya mereka menyerahkan hal tersebut kepada keluarga atau orang kepercayaan.

Nah, untuk yang ingin mengurus sendiri berikut tata caranya pengurusan surat nikah di KUA untuk pasangan beragama Islam:
  1. Tentukan Tempat Menikah
  2. Sebelum mengurus surat nikah, tetapkan dulu dimana Anda akan menggelar akad nikad. Lokasi akad nikah ini nantinya akan berpengaruh dalam pengurusan surat nikah. Jika akad nikah akan digelar di area domisili calon pengantin wanita (CPW) maka nanti calon pengantin pria perlu mengurus surat numpang nikah. Jika akad nikah digelar bukan di area domisili CPW maupun calon pengantin pria (CPP) maka dua-duanya perlu mengurus surat numpang nikah.
  3. Waktu Mengurus Surat Nikah
  4. Menurut keterangan di situs resmi KUA Pasar Minggu, surat nikah wajib diurus selambat-lambatnya 10 hari sebelum berlangsungnya akad nikah. Jika pernikahan Anda sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, tak ada salahnya mulai mengurus dari 1-2 bulan sebelum pernikahan. Hal ini agar Anda bisa mendapat penghulu yang sesuai dengan jam akad nikah yang Anda inginkan. Apalagi jika Anda menikah di waktu yang ramai, ada kemungkinan jadwal para penghulu sudah mulai padat terisi.
  5. Surat-surat yang Perlu Disiapkan
    • Foto Copy KTP, siapkan sekitar 4 lembar untuk masing-masing pengantin
    • Foto Copy Kartu Keluarga, siapkan sekitar 4 lembar untuk masing-masing pengantin
    • Pas Photo Calon Pengantin, berukuran 2×3 masing-masing 4 lembar & 3×4 masing-masing sekitar 4 lembar. Jika menikah beda pulau, siapkan paling tidak 10 lembar
    • Bagi yang berstatus duda/janda, lampirkan surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama/Negeri
    • Surat dispensasi dari Pengadilan Agama khusus untuk calon pengantin yang berusia kurang dari 19 tahun (laki-laki), kurang dari 16 tahun (perempuan), atau laki-laki yang akan berpoligami
    • Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan
    • Ijazah terakhir (ada beberapa KUA yang mensyaratkan, tergantung masing-masing KUA)
    • Materai sekitar 6 lembar
  6. Proses Pengurusan Surat Nikah
  7. Masing-masing pengantin harus mengurus surat nikah dengan proses sebagai berikut:
    • Menuju RT dan RW setempat untuk mengurus surat pengantar (dokumen: fotokopi KTP 2 lembar)
    • Setelah mendapat surat pengantar, CPW dan CPP mengurus surat N1, N2, dan N4, dan surat keterangan belum menikah ke kelurahan tempat tinggal masing-masing (dokumen: pasfoto 3×4 = 2 lembar, fotokopi KTP CPW & CPP 2 lembar, fotokopi KK CPP & CPW 2 lembar, surat pengantar RT/RW). Untuk dokumentasi sebaiknya fotokopi surat N1, N2, N4, dan surat keterangan belum menikah.
    • Surat N1, N2 dan N4 kemudian dibawa ke KUA kecamatan masing-masing CPP dan CPW untuk mengurus surat rekomendasi nikah. Jika CPP atau CPW tidak melangsungkan pernikahan di KUA domisili maka perlu mengurus surat numpang nikah.
    • Jika perlu mengurus surat numpang nikah, maka surat rekomendasi dari KUA masing-masing CPP dan CPW setempat dibawa ke KUA kecamatan tempat Anda menikah. Di situ Anda akan melakukan pendaftaran pernikahan, diberi tahu ketersediaan penghulu yang akan menikahkan, serta diberi pembekalan tentang pernikahan. (dokumen: surat rekomendasi nikah dari KUA domisili, pasfoto 2×3 = 4 lembar, dan surat-surat lain dari KUA setempat).
    • Setelah bertemu dengan penghulu yang akan menikahkan Anda, jangan lupa meminta nomor telepon dan alamat rumah penghulu tersebut untuk penjemputan. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar pernikahan Anda berjalan lancar.
    • Total pengurusan biaya surat nikah dari keluarahan sampai KUA sekitar kurang lebih Rp. 200 ribu di luar biaya penghulu. Untuk biaya penghulu biasanya disampaikan langsung oleh penghulu masing-masing. Jumlah tersebut sebaiknya dibayar separuhnya sebelum nikah lalu dibayar sisanya usai akad nikahnya. Biaya penghulu ini jumlahnya bervariasi mulai dari Rp 200 ribu sampai Rp 1,5 juta.
    • Sekitar satu minggu atau 3 hari sebelum waktu akad nikah, tak ada salahnya menghubungi penghulu untuk mengingatkan.
  8. Simpan Rapih Dokumentasi
Kurang lebih, demikian proses mengurus surat nikah secara umum. Di beberapa tempat mungkin ada beberapa aturan yang berbeda sedikit. Setelah proses mengurus surat selesai, simpan rapih dokumentasi surat tersebut. Percayakan kepada salah satu anggota keluarga atau teman dekat untuk berhubungan dengan penghulu di hari H. Anda sebagai pengantin tentu tak mungkin sibuk mengurusnya. Jangan lupa ingatkan kepada orang yang ditunjuk agar ia juga bertanggungjawab menyimpan buku nikah Anda usai akad nikah.

COPAS

Minggu, 04 Agustus 2013

IBU

*ibu...kadang kata yg sulit ku eja wujudnya...#
*ibu...kadang pernah ku ragui cinta tulusnya...#
*ibu...kadang ku sesali...betapa singkat waktu bersamanya...#
*ibu...kadang harus bisa ku terima...hanya bisa bermanja dengannya lewat doa...#
*ibu...kadang dalam sepi ku bertanya...akankah lebih indah...jika kita bersama...di sana..# 

Kamis, 25 Juli 2013

Sebab Pahitnya Sabar Pasti Berujung Manis

*engkau telaga…hingga semua derai kepahitan itu sempurna karam dihatimu…tak berbekas hanya wajahmu saja yang masih terbias gores keikhlasan..

*engkau api…tak membiarkan celah kecewa… meski setitik... meski sekilas... tak sempat engakau mengeluh… kau bakar semua dengan cinta...dan… engkau indah bersama Allah dihatimu

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Urip ne ndunyo iki piro suwe ne seh, nduk…? Lalu apa yang menghalangi kita untuk sedikit bersabar…” sebuah kalimat ajaib dari seorang wanita tangguh. Kalimat yang beliau sampaikan pada adik kandungnya saat mengadukan masalah-masalah yang dialaminya.

Ia sendiri, tak kurang-kurang “deritanya”. Berputra lima dengan suami yang berpenghasilan seadanya. Rutinitas kerja keras dimulai bahkan sebelum pagi. Menyiapkan keperluan harian anak. Memasak makanan ringan yang biasa dititipkan di kantin sekolah. Selanjutnya mendampingi sarapan bersama suami dan kelima putranya.Dengan sepeda motor sederhana dan ketiga putranya, beliau berangkat ke sekolah tempatnya mengamalkan ilmu yang dimilikinya mengajar tunas bangsa mengeja alif ba ta.

Kesibukannya tak berhenti sampai di situ saja. Saat pulang ke rumah tugas lainnya telah menanti, baju cucian yang menggunung, tempat tinggal yang menunggu dibereskan, dan berbagai macam jenis dagangan yang harus ditawarkan dan diantarkan pada pelanggan. Itu semua beliau lakukan sendiri, tiap hari. Tanpa pernah menuntut ”gaji tambahan” pada suami. Tanpa protes pada Allah, mengapa hidupnya begini. Sewajarnya jika beliau hidup bersimbah dengan keluh, namun ia memilih untuk bersabar.

“Saat Allah menguji, pasti Ia tahu bahwa saya ini mampu…” ucapnya sekali waktu saat ditanya mengapa beliau terlihat begitu tangguh. Dan tanpa waktu lama, Allah pun menunjukkan kuasa Nya. Beliau mulai dapat merasakan buah dari kesabarannya. Putra-putranya jadi anak yang istimewa. Putra yang pertama sangat terasa begitu cerdasnya, sedang putra yang kedua hampir tak bertepi sabar dan pengertian sebagaimana ibunya, putra ketiga juga serupa, begitupun dua putra yang lainnya juga tak berbeda. Benarlah perkataan seseorang yang mengenalnya “Lihatlah lewat putra-putra beliaulah, Allah mengangkat derajatnya…atas segala kesabarannya”. Tak terasa, berurai air mata saya ketika merenungi kisah hidupnya.

Sabar itu istimewa. Demikian salah seorang teman pernah melukiskannya dalam kata. Tapi begitulah, sejatinya. Betapa tidak, Allah selalu mengulang-ulang kata sabar dalam firman Nya. Ada yang menyebutkan kata sabar dapat ditemukan hampir di 90 ayat dalam Al Qur’an. Dan jika Al Qur’an telah menyebutkan perintah untuk bersabar, sudah bisa dipastikan ada hikmah dan kebaikan yang mendalam pada sifat yang satu ini.

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS.Az-Zumar: 10)

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl : 96)

Ujian hidup berupa derita dan musibah adalah keniscayaan bagi orang yang beriman.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al Ankabut : 2)

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu…” (QS. Muhammad : 31)

Saat derita dan musibah menyapa hidup. Sabar, sebaiknya yang jadi teman utama. Sebab ia yang akan membantu kita untuk lebih bisa menyelewati derita dan musibah dengan cara yang lebih anggun dan lebih santun.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah : 155)

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:” Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiuun “. (QS. Al Baqarah : 156)

“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al Baqarah : 157)

Dan sabar tak selalu diperlukan saat bertemu dengan derita dan musibah yang menyakitkan dan menyesakkan. Sabar juga diperlukan saat menghadapi maksiat. Sebab pada kondisi tertentu, bagi seseorang sabar melawan maksiat jauh lebih berat daripada melakukan ketaatan berupa shalat, puasa, infaq atau amalan lainnya. Sungguh mulia derajat orang yang dihadapkan pada kemaksiatan kemudian ia bisa bersabar. Sebagaimana sabarnya Nabi Yusuf saat melawan hawa nafsunya yang mulai goyah oleh godaan Zulaikha, yang apabila tidak dikuatkan oleh keimanan kepada Allah maka pastilah ia terjerumus dalam kemaksiatan.

Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 23-24)

Saat berhasil melompati godaan maksiat bisa dipastikan keimanan dalam dirinya akan semakin kuat. InsyaAllah.

Begitulah hakikat sabar, ia disediakan Allah sebagai penolong bagi orang-orang beriman. Dibebaskan bagi kita untuk memilih bersama Allah atau bersama selain Nya…

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk “. (QS. Al-Baqarah : 45)

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah : 153)

Dan… meski tak mudah. Tetap bersabarlah…!!!

“…bersabar itu slalu spesial…kau tidak tahu akan lama atau sebentar... tapi saat kau bersabar… itu sudah istimewa… karena... Allah bersama orang yg sabar...".
[Sarwo Widodo Arachnida]

*Untuk musahabah diri sendiri* [Kembang Pelangi]

Minggu, 21 Juli 2013

Masalahnya..."mereka" atau "kita"...??

“Jika ada masalah dalam kapal… ya bertahan ‘tuk membenahi adalah satu-satunya solusi…
jika kita turun dan berenang sendirian.. resiko tenggelam lebih besar”

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Saya resign… saya berhenti… kemarin saya meminta ijin pada pimpinan saya untuk “keluar” dari K**M*… organisasi tempat saya bernaung dalam aktivitas dakwah kampus !! ketik si Zahra di Inbox FB ketika itu. “ Lho…kenapa…? ” tanya Lekaki Hujan, salah satu teman terbaik di jalan Aqobah dengan penuh heran.

“Saya sudah ndak cocok… terlalu banyak hal yang berseberangan… terlalu banyak penurunan kualitas dan aktivitas yang terjadi… lama..lama siapa bisa tahan…?” terus saja jemari si Zahra mengetik… meluncurkan sejumlah alasan.

“Hmm…saya paham tapi, tetap saja jika ada masalah dalam kapal… ya bertahan untuk membenahi adalah satu-satunya solusi… jika kita turun dan berenang sendirian… resiko tenggelam lebih besar” demikian jawaban Lelaki Hujan. Dan pada akhirnya jawaban Lelaki Hujan mengubah sudut pandang dan menyadarkan si Zahra jika keputusannya tak bisa dibenarkan dan perlu dikaji ulang.

Begitulah… berorganisasi tak selamanya jalannya mulus tanpa hambatan. Menjadi bagian dari sebuah institusi, apalagi yang turut berpartisipasi dalam pusaran gelombang pergerakan dakwah bukan berarti tanpa resiko. Sebagaimana lumrahnya aktivitas apapun pasti ada resikonya. Terlebih aktivitas yang terbingkai dalam kerangka dakwah, bisa dipastikan kemungkinan resiko, tantangan dan hambatan yang ada akan lebih besar dan bervariasi. Dan diperlukan kesiapan psikologis, kesiapan ruhiah lebih tepatnya untuk menghadapinya. Sebab bukan tidak mungkin jika kita belum siap atau bahkan tidak siap menghadapi realitas jalan juang yang penuh riak gelombang akan memicu timbulnya berbagai “penyakit”, diantaranya kemalasan, kelemahan dan kelelahan mental, rasa putus asa atahu bahkan parahnya memilih insilakh (keluar) dari pusaran dakwah, Naudzubillah.

Kita sering mendengar… terlalu sering bahkan… bahwa memilih dan menempuh hidup di jalan dakwah adalah perjalanan paling mulia. Penulis spesialisasi tema tarbawi, Muhammad lili Nur Aulia mengibaratkan seorang aktivis dakwah ibarat seorang musafir di jalan Allah yang membawa misi dakwah ke manapun langkah kakinya berjalan. Ia laksana pembawa minyak wangi yang menebar aroma sedap dan indahnnya islam di sepanjang jalan yang dilaluinya. Beliau menambahkan, berada dalam arus pusaran dakwah adalah sebuah kesyukuran. Menjadi bagian dari dakwah adalah karunia Nya. Itu sebuah adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggaan. Allah telah mengistimewakan kita dengan memilih kita berada dalam dakwah. Ini adalah karunia terbaik sesudah iman. Karunia yang belum tentu bisa didapat karena nasab, harta dunia, dan strata sosial tertentu. Sejatinya itu adalah anugerah terindah jika Allah menuntun langkah kita berpijak menapaki jalan yang ditempuh para Nabi, yakni jalan dakwah.

Sebagaimana FirmanNya,

“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya…” (QS. Ali Imron : 103)

Ustadz Abu Ridho mengatakan jika untuk membangun kesiapan ruhiyah dalam mengarungi jalan dakwah tak cukup hanya dengan pemahaman yang baik. Selain pemahaman bahwa jalan dakwah tidak mudah penuh rintangan, harus ada aspek lain yang mengiringi yakni niat yang lurus ketika memutuskan untuk memulai langkah perjalanan dakwahnya. Niat bersih yang terbebas dari segala nafsu pribadi, materi dan segala kepentingan duniawi. Niat lurus yang melandasi segala aktivitas demi pahala dan ridho Allah semata. Itu yang akan memunculkan imunitas (kekebalan) yang tinggi sehingga seorang aktivis dakwah tak mudah terserang “penyakit” sebagaimana yang telah disebutkan tadi.

Sebagaimana kutipan di mukaddimah buku Komitmen Dai sejati karangan Muhammad Abduh:

Jika komitmen terhadap dakwah benar- benar tulus … maka tak akan banyak pejuang yang berguguran di tengah jalan. Dakwah akan terus melaju dengan tulus untuk meraih tujuan- tujuannya dan mampu memancangkan prinsip- prinsipnya dengan kokoh.

Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus… niscaya hati sekian banyak orang akan menjadi bersih, pikiran mereka akan bersatu,dan fenomena ingin menang sendiri saat berargumentasi akan jarang terjadi.

Jika komitmennya benar-benar tulus… maka hatinya akan lapang untuk memaafkan setiap kesalahan saudara seperjuangannya sehingga tidak tersisa tempat sekecil apapun untuk permusuhan dan dendam.

Jika komitmennya bena-benar tulus… maka sikap toleran akan semakin semarak, rasa saling mencintai akan semakin merebak, hubungan persaudaraan akan semakin kuat dan barisan pejuang dakwah akan menjadi bangunan yang berdiri kokoh dan saling menopang.

Maka saat aroma indikasi bakteri “penyakit” mulai datang menyerang. Selayaknya seorang pejuang dakwah bermuhasabah, introspeksi diri. Apakah sudah lurus niatnya saat melangkah ?. Apakah telah hadir “ketulusan ” yang benar dalam komitmen dakwahnya selama ini ?. Maka, Apabila masih terbesit keinginan untuk insilakh, keluar dari pusaran dakwah, ada perlunya jika kita patut curiga bisa jadi bukan “mereka” saudara –saudara seperjuangan kita yang salah dan perlu dibenahi. Bisa jadi, sejatinya diri kita pribadi yang perlu diterapi.

Sebagaimana kutipan yang di atas, hanya jika karena merasa benar sendiri dan tidak sesuai dengan lainnya kemudian kita memilih keluar “berjuang” sendirian. Bukan tidak mungkin, jarak “tujuan kemenangan” dakwah akan semakin jauh. Dan bisa-bisa kita terlebih dahulu “tenggelam” sebelum benar-benar sampai. Tetap bertahan dan berkontribusi untuk “membenahi” agaknya lebih layak untuk dipilih sebagai solusi. Maka, bertahan saja… karena sekali melangkah “keluar”, tak ada jaminan kita bisa kembali lagi.

“…terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus melakukan apa yang bisa dilakukan…” (Novel… Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah-----Tere Liye)

[Kembang Pelangi]

Kamis, 18 Juli 2013

Ketika Akhwat Terperangkap Sinyal Cinta


 


 “...rasa nyaman terkadang membuat orang berhenti meniti takdir terindah…”
[Sarwo Widodo Arachnida]

Akhwat itu susah Move On… itu kesimpulan instan yang saya dapatkan. Meski sejatinya tidak semuanya begitu. Miris memang, tapi itu kenyataan. Setidaknya itu yang saya temukan. Tak percaya…? Mungkin kisah ini bisa bisa jadi sebagian bukti.

Kisah Pertama

Terjadi saat pembinaan tarbawi yang sudah diakhiri, menghangat kembali akibat tema “Kapan Datangnya Belahan Hati”.

“Sudahlah…saya percaya…jodoh itu pasti datang…saat hati sudah ikhlas dan merelakan sosok dambaan yang tak bisa didapatkan…” cetus si mad’u yang ada di hadapannya tanpa beban sambil mengangkat ransel hendak melangkah pergi

“Astaghfirullah…berarti hingga detik ini anti belum ikhlas…?” Sang Murobbiyah tiba-tiba menyahut dengan nada tegas.

“He…he…he…” dengan lugu si Mad’u menjawab dengan tertawa basi.

Tanpa sadar ia duduk kembali, urung untuk melangkah pergi.

“Ck…ck…ck… istighfar ukhti…segera bersihkan hati…” suara Sang Murobbiyah merendah kembali

“Bisa jadi itu sebabnya… data anti selalu kembali…setiap kali ana berikhtiar untuk anti belakangan ini…” lanjut beliau dengan nada sedih.

“Sebaiknya jangan diteruskan seperti ini…anti menyakiti diri sendiri… anti menyakiti orang yang menyayangi anti… segera ditata kembali hatinya… ikhlaskan semuanya… semoga akan ada takdir indah yang mengiringinya ” tutur Sang Murobbiyah kembali menasehati.

Tanpa sadar air mata si Mad’u mulai meleleh…ia begitu dihinggapi rasa bersalah.

Kisah Kedua

“Ana ndak bisa mbak… apa yang harus ana lakukan…” ujar ukhti Solihah lewat sebuah pesan singkat di HP nya.

“Ana susah mengawali sesuatu… dan ketika sudah nyaman… ana takut mencoba yang baru… ibarat sebuah tempat… saya takut untuk melangkah pergi… jujur mbak “beliau” masih tersimpan rapi di hati” lanjut ukhti Solihah makin sendu.

“Ikhlaskan hati dhek… menikah itu tak cukup hanya dengan jatuh cinta… saat anti mampu berusaha bangun cinta… InsyaAllah akan lebih indah… terlebih lagi lebih berkah… Allah slalu punya pilihan yang terbaik” dengan berusaha sebijak mungkin “Mbak”nya memberi jawaban balasan.

Ini sudah sekian kali… sudah hampir proses ketiga yang ukhti Solihah jalani dan masalahnya masih sama. Ia merasa belum mampu “pindah” ke lain hati. Sedang “yang dinanti” merasa masih belum siap tanpa batas waktu yang pasti. Padahal pihak keluarga sudah tak sabar lagi. Dilema melanda, itu sudah pasti.
***

Begitulah akhwat… mereka sebagaimana wanita pada umumnya. Mereka terlalu “setia” dengan perasaanya. Sebuah artikel di dunia maya menyebutkan, pada dasarnya wanita adalah sosok yang sangat setia, kesetiaan mereka terkadang tidak dibalas setimpal oleh laki-laki, tentunya sangat menyakitkan bagi seorang wanita, tapi itulah wanita walau sering disakiti tapi mereka tetap berusaha mempertahankan hubungan dengan mengutamakan kesetiaan. Saat wanita mengalami “tragedi cinta” mereka kebanyakan membutuhkan “waktu berkabung” yang lebih lama. Seorang Konselor percintaan Dr. Rajan Bhonsle mengemukakan, hal itu bisa jadi benar dengan alasan wanita merupakan makhluk yang emosional.

"Bagi kebanyakan wanita, jatuh cinta adalah proses yang perlahan dan bertahap. Ketertarikan wanita kepada pria terbentuk dalam waktu yang lama seiring dia mulai mencintai, mengenali dan memahami lawan jenisnya. Dia memupuk perasaan cintanya, itulah sebabnya kegagalan percintaan atau perselingkuhan lebih menyakitkan bagi wanita," urai Dr. Raja

Sedangkan pakar yang lain mengemukakan hal yang sedikit berbeda, psikoterapis Dr. Reema Shah yang menyatakan bahwa urusan perasaan tidak bisa digeneralisasikan. Dr. Reema berargumen, perbedaan cara pria dan wanita dalam mengatasi masalah percintaan bukan karena gender, tapi lebih kepada kondisi sosial.

"Wanita bersikap demonstratif karena ada semacam persetujuan sosial yang 'membolehkan' mereka lebih terbuka secara emosional. Karena ekspresinya terlihat, orang jadi berpikir kalau wanita lebih sulit melupakan sakit hati," ujarnya.

Argumentasi kedua pakar tersebut makin mengamini jika realitas yang ada menunjukkan bahwa mayoritas wanita memang lebih memilih untuk berlama-lama dalam “derita” cintanya.

Maka teruntuk para kaum adam apapun sebutannya, mau yang ngakunya ikhwan atau bukan, sebaiknya tidak coba–coba mengetuk pintu hati wanita manapun dengan mengirimkan sinyal-sinyal cinta atau menanamkan benih cinta jika memang tidak dan belum sanggup membingkai cinta yang coba ditawarkannya dengan tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah pernikahan. Mencintai berati menikahi. Itu prinsipnya. Tegas dan jelas.

Islam tidak memungkiri naluri dan fitrah insani dalam hal kecondongan terhadap lawan jenis. Allah berfirman,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron : 14)

Dan jalan terbaik untuk mengelola naluri tersebut sudah ditunjukkan Allah pula dalam kitab-Nya.

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nuur : 32)

Namun apabila merasa belum sanggup memilih solusi yang Allah tunjukkan, Dia menunjukkan alternatif pilihan yang lain yakni,

"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya." (QS. An Nuur : 33)

Disebutkan pula di ayat yang lain,

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".(QS. An Nuur : 30)

Tak hanya kaum Adam, wanita pun dianjurkan melakukan hal yang sama.

Katakanlah kepada para wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) terlihat……. (QS. An Nuur : 31)

Pilihan-pilihan sudah disediakan. Maka, bila melanggar batasan yang ada Allah telah mengingatkan,

“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra : 32)

Aturan Islam sudah jelas. Pada akhirnya berpulang pada diri masing–masing pilihan mana yang hendak diambil. Tentu sebagai insan yang tercerahkan oleh cahaya iman, semua tentu paham adalah kurang ahsan jika tindakan yang dilakukan akan menimbulkan kesusahan pada saudara seiman. Nasehat ini terutama bagi kaum Adam, jangan sampai karena sikap “kurang bertanggung jawab”nya menyebabkan saudaranya “menderita” berkepanjangan. Sebaliknya pula bagi kaum wanita, tak patut pula kiranya jika berlama-lama dan merasa nyaman dengan “derita cinta” sebab bisa jadi takdir terindah yang telah Allah siapkan jadi tertunda karenanya. So try to Move On girls…...!!! [Kembang Pelangi]

Minggu, 14 Juli 2013

Menanam Kebaikan Menuai Cinta

“…tulislah kebaikan.. karena kebaikan adalah cahaya..
bahkan.. tulisanmu bisa menjadi kebaikan abadi.. yang terus menerangi.. meski engkau nanti di perut bumi…”

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Tulis 3 nama…” demikian instruksi beliau, Ust Adi Wisnugraha trainer TRUSTCO saat mengisi pelatihan singkat hari itu. Sebuah pelatihan untuk semua pengajar di sebuah yayasan sekolah terpadu di kota Gresik.

“Anggaplah kertas yang antum pegang adalah voucher pulsa gratis Rp. 50.000… tulislah 3 nama orang yang hadir di tempat ini yang menurut antum layak mendapatkannya“ lanjut beliau. “OK… sekarang dalam waktu 5 menit… temukan dan berikan kertas tersebut sesuai dengan nama yang telah antum tulis…” perintah beliau tiba-tiba. Dan berhamburanlah semua yang hadir di majelis itu untuk berburu 3 orang partner kerja yang dituju.

Waktu 5 menit pun telah berlalu. “Sekarang kita temukan siapa yang mendapat voucher terbanyak hari ini”. Subhanallah… wajah itu mengacungkan tangan penuh kertas dengan malu-malu. Wajah yang kami akrabi setiap hari kerja… sosok yang hampir selalu berusaha meringankan beban kami… sosok yang ringan tangan membantu siapa saja yang ia temui… wajah yang kami temui setiap kali pekan pembinaan tarbawi kami. Beliaulah murabbiyah kami. Beliaulah pemenang rekor voucher CINTA terbanyak hari itu.

“Itulah hakikat ihtiram… berbuat kebaikan… ia akan membekas dalam ingatan… ia akan melahirkan balasan kebaikan pula… dan pemenang rekor kita hari ini… selayaknya kita teladani… pasti ada sebab mengapa ia begitu dicintai…” tutup Sang trainer sebelum acara diakhiri.

Islam menekankan akhlaqul mahmudah bagi segenap muslim sebagai salah satu dari dua dimensi nilai yang wajib diwujudkan seorang muslim dalam hidupnya. Dua dimensi nilai itu aqidah atau keimanan yang benar dan akhlaq yang terpuji. Sebab akhlaq yang baik adalah buah dari aqidah yang benar. Keduanya mesti seiring sejalan. Setiap muslim punya kewajiban moral untuk mewujudkan citra baik Islam sebagi agama rahmatan lil alamin dengan berusaha menampakkan akhlaqul mahmudah saat berinteraksi dengan sesama manusia. Idealnya, tutur kata, sikap dan tingkah laku, cara berpakaian, cara bergaul, seorang muslim lebih baik daripada orang lain yang belum mengenal Islam. Begitupun dengan para da’i harus menampakkan akhlaq yang lebih indah dari orang pada umumnya yang menjadi obyek dakwahnya. Agar tidak semakin benar ungkapan yang menyebutkan “Al-Islam mahjubun bil muslimin” artinya bahwa Islam itu terhijab oleh (perilaku) kaum muslimin. Dan terwujudlah sabda Sang Nabi di bawah ini.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia“ (HR .Ahmad dan Baihaqi)

Salah satu wujud akhlaqul mahmudah yang wajib muncul dalam diri seorang muslim adalah ihtiram. Ihtiram artinya saling menghargai atau saling hormat menghormati kepada sesama manusia. Ihtiram menjadi hal yang sangat penting di tengah-tengah pergaulan antar sesama, lebih-lebih dalam tata pegaulan antar sesama muslim. Islam mengatur bagaimana ihtiram dalam pergaulan dengan kedua orang tua, kepada sesama secara umum dan khususnya terhadap tetangga serta tamu yang berkunjung ke rumah.

Ihtiram pada kedua orang tua, Allah memerintahkan.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak-mu dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23 ).

Sedangkan kepada sesama manusia secara umum Allah berfirman.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman : 18 ).

Dalam firman Nya jelas menyebutkan larangan untuk berlaku sombong. Sombong ditandai dengan dua variabel yakni bathrul haq (menolak kebenaran) dan ghantun nas (menghina manusia). Banyak fakta menunjukkan jika kedzaliman dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi seseorang besumber pada rasa angkuh, tidak menghormati orang lain. Maka, jika seorang muslim mengabaikan sikap ihtiram terhadap sesama manusia itu bisa berakibat fatal sebagaimana Rasulullah sampaikan dalam sabdanya.

“Barang siapa yang tidak belas kasihan kepada yang lebih kecil dan tidak menghargai kehormatan yang lebih tua maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Bukhari dari Ibnu Umar ra).

Maka sudah bisa dipastikan kesombongan, angkuh, tidak sayang kepada yang kecil (lemah) dan tidak menghargai kehormatan yang lebih tua (besar), bukan watak orang-orang beriman.

Dan pemenang voucher Cinta saat pelatihan hari itu membuktikan jika kebaikan-kebaikan yang beliau lakukan selama ini pada hampir semua partner kerja tak hilang begitu saja. Akhlaq ihtiram yang beliau amalkan melahirkan cinta. Akhlaq ihtiram yang beliau lakukan menempatkan beliau menjadi sosok yang istimewa di hati setiap orang yang pernah melihat dan merasakan setiap kebaikan beliau. Dan tepatlah strategi sang trainer bagi kami, tak perlu banyak kata dan materi… cukup berikan bukti. Barang siapa yang berlaku penuh cinta… maka ia pun akan menuai cinta… sekalipun tanpa pernah ia meminta. Ketulusan akan berbuah ketulusan. Kebaikan akan berbalas kebaikan. Maka berlombalah… mengukir kebaikan.

“…dan betapa kebaikan itu seperti hujan
dia menetes dan menumbuhkan… namun tidak berhenti.. kebaikan mengalir dari hati ke hati lagi.. menyejukan setiap jiwa.. bahkan hanya dengan mendengarnya.. terus meretas.. melembutkan semua yang dilewatinya.. Lalu… Indah menatap kau melakukannya…”

[ Sarwo Widodo Arachnida]

Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Senin, 08 Juli 2013

Partai Dakwah Telah Berubah?

Suksesnya dakwah tak hanya sekedar diukur dari banyaknya suara… tetapi terukur dari sampainya warna-warna islami pada hati yang gersang dan penuh rindu pada indahnya Islam
[Sarwo Widodo Arachnida]

“Aaaaah sudahlah… coret saja… sepertinya kurang relevan dan strategis agenda itu… ndak perlu lagi sering-sering kita menggelar baksos… toh nyatanya itu tak cukup mendongkrak perolehan suara partai dan caleg yang kita perjuangkan…” ujar suara sumbang dari ujung meja rapat koordinasi pemenangan sebuah partai. Sedangkan para kader sejati yang hampir memadati ruang tempat musyawarah tadi hanya bisa bergumam dalam hati “sejauh yang kami pahami… bukan sekedar demi suara dalam pemilu nanti… segala usaha dan perjuangan kami selama ini… tapi juga tanggung jawab dan kewajiban kami terhadap umat ini… hingga kami bisa berdiri gagah berani dan tak malu lagi saat berjumpa dengan Rabbi… Tuhan kami”.

Cerita tadi hanya fiksi. Luapan berlebihan dari saya atas fenomena yang terkadang saya jumpai sesekali. Tak banyak memang, tapi cukup mengesalkan dan disayangkan jika ada pemikiran “liar” tersebut dalam benak para pejuang yang mengaku kader sebuah partai dakwah. Semoga tak banyak… bahkan kalau bisa benar-benar tak ada secuil pun komponen dalam gerbong partai pengusung kepentingan umat yang model begitu.

Tidak. Tidak ada yang berubah dari ashalah partai dakwah. Sejauh yang diketahui, insya Allah manhaj kita masih sama. Kehadiran dalam liqoat tarbawi juga masih tetap dianggap sebuah kewajiban. Kualitas dan kuantitas tilawah, qiyamul lail, dzikir pagi-petang, puasa sunnah dan amalan yauimiyah lainnya tetap diperhitungkan. Ghiroh kegiatan hafalan Al Qur’an dan hadits juga malah makin digalakkan. Keutamaan bina ukhuwah dan jaga ruhiyah juga masih diajarkan dan dianjurkan. Kajian dan taklim pembinaan umat juga tidak dilupakan. Perkembangan di Gaza, Mesir, Rohingya dan Suriah serta belahan dunia lainnya tak juga luput diperhatikan dengan berbagai jenis munasharah, doa, diplomasi kenegaraan dan pengiriman bantuan.

Saya yakin, partai dakwah ini belum berubah. Partai Dakwah ini tidak boleh berubah. Apapun cibiran orang, lawan saja dengan segenap pembuktian. Partai dakwah masih setia mengawal dan mengusung kepentingan umat. Buktikan jika semua aktif bekerja…semua aktif berjuang. Mulai dari pengurus ranting yang rendahan sampai yang sudah duduk di kursi anggota dewan. Mulai dari yang kuli hingga menteri. Saat kebakaran, banjir dan becana alam datang usahakan datang mengulurkan bantuan. Peredaran narkoba, miras dan maksiat terus dilawan. Jika semua itu terlampau susah dan berat, setidaknya saat berjumpa tetangga berikan salam, senyum dan sapa yang menyenangkan. Ketika mereka kesulitan, berikan pertolongan. Buktikan saja, bahwa negeri ini masih belum kehilangan harapan.

Dalam bukunya, Herry Nurdi mengatakan, semua usaha dan perjuangan yang dilakukan hanya punya satu ukuran. Untung rugi yang didapatkan harus diukur, apakah sama untung rugi yang didapatkan oleh Islam. Bukan atas pertimbangan untung rugi politik, diplomatik maupun sekedar strategik. Karena apa yang dianggap untung oleh kacamata strategi dan politik, belum tentu simetris dalam arti ideologik. Maka beliau pun berpesan, pejuang sejati tak pernah mencuri kemenangan untuk dirinya sendiri. Bahkan mereka tak pernah berpikir untuk ikut menikmati hasil perjuangan yang dilakukannya.

Negeri ini telah terlalu lama dirusak… hingga butuh waktu yang tidak instan untuk memperbaikinya... sekarang belum masanya menikmati hasil perjuangan. Jangan turut menjadi satu lagi golongan yang merusak negeri yang Allah titipkan.

Prinsipnya sederhana saja sebagaimana disebutkan dalam FirmanNya.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

“bekerja saja… berjuang saja... Allah tidak pernah lupa… Allah tidak mungkin salah... Dia Maha Tahu, siapa melakukan apa…dan pasti akan membalasnya..."
[The Secret of Heaven --- Herry Nurdi]

Wallahu a'lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Apa Artinya Ilmu Tanpa Amal

There is difference between KNOWING the path and WALKING the path
[Morpheus – The Matrix Revolution]

Berbeda. Jelas berbeda. Kutipan di atas saya dapati saat menekuri lembar pertama buku The Secret of Heaven karangan ustadz Herry Nurdi. Buku yang cerdas dan menggerakkan, begitu ujar Helvy Tiana Rosa dalam endorsementnya. Benarlah… serasa mendapat tamparan penyadaran saat membaca tiap lembarnya. Dan menggerakkan jemari ini untuk berbagi ide cerdas beliau.

Ada perbedaan antara orang yang hanya sekedar tahu sebuah “jalan” dengan orang yang sepenuh perjuangan menapaki “jalan” tersebut. Ternyata… mengetahui saja tidak cukup tapi jauh lebih baik jika merealisasikan apa yang kita tahu. Kita tahu shalat sunnah sebelum Shubuh itu fadhilahnya lebih utama dari pada dunia dan seisinya. Tapi lebih utama lagi jika kita istiqomah mengamalkannya. Kita sering mendengar shalat berjamaah itu lebih tinggi derajat dan pahalanya dari shalat sendirian. Tapi akan lebih indah lagi jika langkah tergesa kita ke masjid demi mengejar shalat jamaah yang lebih sering terdengar. Kita tahu jalan dakwah itu kewajiban yang indah. Tapi lebih berkah jika kita turut bergerak di dalamnya. Itulah kelemahan kita, sering berilmu tapi belum maksimal dalam beramal.

Dalam bukunya, ustadz Herry Nurdi menyebutkan, di dunia ini tak sedikit orang yang berpengetahuan. Namun, apakah dunia jadi lebih baik hanya dengan itu. Dunia akan berubah ketika mereka melakukan sesuatu yang baik berdasarkan pengetahuan yang mereka punya. Sebagaimana Hasan Al Banna pun pernah mengatakan hal yang serupa. “Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia. Hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dan dari sedikit yang sadar itu, hanya sedikit yang ber-Islam. Dari mereka yang ber-Islam jauh lebih sedikit lagi yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah, jauh lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang, jauh sedikit lagi yang mau bersabar. Dan dari sedikit yang bersabar itu, hanya sedikit saja yang sampai pada akhir perjalanan ”.

Kita tentu tak asing lagi dengan firman Nya berikut ini
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104)

Allah sudah menyebutkan akan termasuk golongan yang beruntung bagi orang- orang yang menyeru dan berdakwah di jalan Nya. Kita tahu Allah Maha Benar, janji-Nya adalah sebuah kepastian. Jika Allah katakan beruntung, pasti akan beruntung. Tapi tidak semua dari kita mau dan sudah bergabung menjadi bagian dari barisan orang–orang beruntung sebagaimana yang disebutkan-Nya tersebut. Jika masih ada yang ragu–ragu untuk merealisasikan niat baiknya untuk bergabung dalam dakwah, Allah memiliki ayat yang lain untuk makin memantapkan hati.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110)

Menjadi bagian dari dakwah tentulah bukan hal yang mudah. Ujian, cobaan, cacian, hinaan, dan godaan untuk tidak istiqomah datang sepanjang waktu. Menguji hampir setiap hari dan setiap kali. Rasa takut pasti pernah mereka alami. Maka bagi orang–orang beruntung yang telah memilih menjadi bagian dari dakwah, meraka punya senjata ampuh untuk meneguhkan hati dan membangkitkan kembali semangat mereka. Motivasi dari Rabb-nya tercinta.

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman ” (QS. Ali Imron 139)

Berbahagialah bagi jiwa-jiwa yang telah memilih menafkahkan diri, harta dan jiwanya pada dakwah demi tegaknya kembali Izzah Islam wal muslimin. Apapun harakahnya apapun manhajnya dengan Al Qur’an dan Sunnah landasan bergeraknya. Bagi merekalah kemenangan yang agung.

"(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam syurga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman." (QS As Shaff 11-13)

Saat tulisan ini selesai terbaca, tentulah kita telah menjadi tahu. Tapi apakah selanjutnya, kita akan menjadi mau…?. Terserah padamu…

Ini Negara Bebas…setiap orang berhak untuk membuat pilihan.
[Alangkah Lucunya Negeri Ini---The Movie]

Wallahu a'lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Minggu, 07 Juli 2013

2 Kunci Qaulan Tsaqila


Seperti biasa, izinkan saya berkisah

Kisah I
“Tak sedikit kaum muslim yang tahu jika pahala sholat 2 rakaat sebelum sholat Subuh itu lebih utama dari dunia dan seisinya… tapi, coba lihat berapa banyak yang sanggup untuk istiqomah dalam mengerjakannya. Ini masalah mendasar. Ini masalah Tauhid. Berilmu tapi belum maksimal beramal ” ujar seorang Ustadz saat mengisi acara Leadership yang kami adakan hampir setahun yang lalu. Dan setelah itu hampir belum sekalipun kami bertemu beliau kembali. Namun, nasihat itu terngiang hampir setiap kali seorang akhwat menggelar sajadah bersiap untuk sholat Subuh. Nasihat itu pula yang selalu “membantu” menggerakkan hatinya jika agak malas menunaikan sholat sunnah Fajar.

Kisah II
“3 Keutamaan Membaca Surat Al Kahfi di Hari Jum’at ” itu judul artikelnya. Begitu setia, sang Ustadz posting itu setiap pekannya. Hampir setiap kamis petang atau juga terkadang saat hari Jum’at datang menjelang sudah pasti artikel itu beliau pajang di blog yang dikelolanya. Sekali waktu si Zahra cuek saja membacanya. Alih- alih tambahan ilmu yang belum dia tahu. Sepekan dua pekan artikel itu selalu muncul setiap menjelang hari Jum’at. Entah pada hari jum’at pekan yang ke berapa, seperti ada “motivasi” yang tanpa sadar menuntun si Zahra mengambil mushaf. Bibirnya mulai melantunkan surat Al Kahfi ayat demi ayat… tanpa terasa hingga ayat yang terakhir. Dan pada pekan berikutnya si Zahra mulai terbiasa. Membaca surat Al Kahfi saat Jum’at datang menjelang sebagai mana tuntunan sunnah. Semoga si Zahra istiqomah.

Qoulan tsaqiila. Perkataan yang berat. Perkataan yang mampu menggerakkan pendengarnya. Nasihat lisan atau pun tertulis yang mampu menggerakkan audiencenya untuk melakukan kebaikan. Terlebih lagi jika dilakukan secara istiqomah. Tak terbayang… berapa pahala jariyah yang bakal mengalir. Itu yang berusaha saya tangkap dari dua kisah di atas.

Qoulan tsaqiila. Perkataan yang berat. Sebuah anugerah dari Allah yang tak serta merta didapat. Sebuah anugrah yang akan diberikan dengan beberapa syarat. Syaratnya sudah secara gamblang Allah sebutkan dalam FirmanNya

bangunlah (untuk shalat) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.

[QS. Al Muzammil 2-5]

Jika boleh dikatakan Qoulan tsaqiila berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an yang kita lakukan setiap harinya. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh ustadz Farid Dhofir suatu ketika, saat orang tua merasa kesulitan menasehati anak nya… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah al Qur’an-nya. Saat para ustadz-ustadzah merasa kurang didengarkan nasehatnya oleh anak didiknya… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an nya. Saat seorang murobbi merasa perkataanya kurang menggetarkan para mad’u… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an nya. Barangkali, ada yang “kurang” dalam bab qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an nya.

Dan saya berhuznudzon saja kedua ustadz tersebut menjadi contoh nyata. Amalan yaumiyah berupa qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an akan ada atsarnya. Akan ada bekasnya… ada buahnya yakni qoulan tsaqiila. Lisan maupun tertulis. Bagaimana sebuah kebaikan jika disampaikan dengan baik, maka akan melahirkan kebaikan pula.

Dan akhir kata, betapa saya berkeinginan meneladani keduanya. Maka jika tulisan ini belum mampu menggetarkan… berlakulah kaidah yang sama… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an penulisnya. :]

Resonansi Cinta Ibu

“Ana heran” ucap si sahabat tiba- tiba, kala Gadis bercerita tentang kisah cintanya. “Ana bertanya-tanya apa yang membuat anti jatuh hati dengan lelaki itu…? Sebab sejauh yang ana tahu tak banyak kriteria impian anti yang melekat pada lelaki itu.. ” lanjut si sahabat lebih jauh.
“Ibunya…” jawab Gadis tanpa ragu. “Sosok penyayang itulah yang membuatku jatuh hati pada anaknya… sebab aku ingin merasakan kasih yang sama dari beliau…” lanjut Gadis mengurai harapan.

Ibu. Sosok yang hampir selalu dilukiskan indah oleh sejarah. Tak terhitung banyaknya kisah yang menceritakan tentang istimewanya seorang ibu. Sosok ibu sering digambarkan sebagai pecinta sejati. Cintanya abadi sepanjang waktu. Sejak sang anak belum berbentuk dan terlihat rupa wajahnya, ibu sudah menyambutnya dengan bahagia. Beliau mengelus mesra perutnya dan mengajak si bayi bercengkrama. Begitupun saat si kecil terlahir ke dunia beliau merawat dan membesarkan dengan penuh cinta. Menggendong si anak berjam-jam, sering terbangun di tengah malam, dan mata yang jarang bisa terpejam saat si kecil rewel dan sakit adalah rutinitas yang hampir semua ibu pernah mengalaminya.

Begitu waktu berlalu. Si kecil pun tumbuh dan beranjak dewasa. Dan cinta ibu tetap tak berubah. Beliau masih memiliki kasih yang melimpah. Saat buah hati dirundung masalah bisa jadi beliau tempat curhat yang pertama. Tak pandang apapun masalahnya. Masalah kuliah, ketidaknyamanan di tempat kerja atau pun yang lainnya. Bahkan mungkin saat sang anak mulai merasa menemukan jodohnya. Beliau seringkali menghadirkan solusi di sela-sela nasihat bijaknya. Tak jarang dalam bentuk omelan panjangnya atau unwanted-phonecall saat sang anak tak kunjung pulang sedang hari sudah menjelang malam, itu semua gambaran kasih sayang beliau. Yang mungkin tak selalu berbalas tanggapan yang sama indahnya dari sang anak. Tak sedikit anak yang menganggapnya “ gangguan “. Tapi percayalah… suatu saat itu akan jadi gangguan yang begitu dirindukan.

Atas semua jasa dan limpahan cintanya, benarlah jika Sang Nabi mengajarkan pada kita, bahwa beliaulah seutama-utama wanita yang mesti kita dahulukan urusannya.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita?” Jawab Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam “Suaminya.”
”Siapa pula berhak terhadap lelaki?” Jawab Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, “Ibunya.”

Begitupun dalam Riwayat yang lain dikisahkan

Abu Hurairah radhiallahu 'anh berkata: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik-baiknya?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ayahmu.” (Shahih Bukhari – hadis no: 5971)

Begitupun Allah memerintahkan dalam Firman Nya

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (QS. Luqman: 14)

Beruntunglah jika sampai saat ini masih bisa merasakan hangat kasih sayang seorang ibu. Beruntunglah jika masih mendapati omelan-omelan cinta saat terlambat pulang, terlambat makan, atau terlambat bangun di waktu Subuh. Sekali lagi percayalah… itu sebuah keberuntungan. Sebab tak semua anak seberuntung itu. Sebab tak sedikit anak yang merindukan omelan-omelan dan gangguan- gangguan itu. Bisa jadi banyak sebabnya. Tak ber-Ibu semenjak kecil atau terpisah dari ibu dikarenakan musibah, perceraian, adopsi atau bahkan sebab terenggut maut. Bagi anak- anak dengan kondisi seperti itu omelan cinta dan gangguan itu adalah hadiah yang begitu ditunggu dan dirindu.

Maka syukur Alhamdulillah jika saat ini Allah masih menganugrahkan pada kita waktu bersama beliau. Nikmati waktu yang ada dengan benar- benar berbakti dan berbuat baik pada beliau. Sebuah kesempatan berbuah syurga jika bisa merawat dan mendampingi beliau dengan penuh kesabaran hingga akhir hayatnya. Sebab, bisa jadi “ keindahan jiwa” beliaulah yang telah mengundang dan menerbitkan cinta seseorang yang “akan” atau yang “telah” menjadi pasangan hidup kita. Sebagaimana kisah Gadis di atas… itu fakta bukan fiksi. Beruntunglah… yang masih merasakan cinta Ibu… hingga kini. Berbahagialah… dan berbaktilah…[Kembang Pelangi]

*) Dan aku pun beruntung memilikinya… dengan bangga kusebut ia Murabbiyahku… dan… itulah… Ibuku

Rabu, 15 Mei 2013

Cinta tetap Tegak meski Raga Berjarak



Tenang, aku hanya sedang memberi jarak, agar cinta itu terus memberontak.

Tenang, aku hanya sedang memberi ruang, agar indah itu mampu kau pandang.

Aku kira, untuk melihat keindahan butuh beberapa hasta.

Sebab aku tahu, untuk hangatkan cinta butuh sedikit rindu


[FLP Aceh---Anugrah Roby Syahputra' Blog]

Menjadi Akhwat Tangguh

apakah mereka yang slalu berbuat baik itu tak pernah "terluka"
ah kawan.. boleh jadi mereka lah yang paling banyak terluka di "jalan ini"
bahkan mungkin hati mereka sudah tak utuh lagi.. tercabik dan terkoyak di sana-sini..
lalu mengapa mereka terus menebar kebaikan..?
karena yang mereka cintai adalah Allah… bukan dirinya sendiri…

[Sarwo Widodo Arachnida]

“3 hari sesudah menikah… kami pun hidup terpisah…” ucapnya dengan suara datar.
“Subhanallah…artinya sejak itu anti di Jakarta dan suami di Jawa Timur...? ” tanya Murobbiyah saya untuk meyakinkan.
“Benar…” jawab akhwat tersebut dengan penuh keyakinan tanpa penyesalan.

Itu sepenggal kisah yang dibagi murabbiyah saya saat duduk bersama di Masjid Islamic Center, pagi itu. Kisah tentang salah seorang akhwat pembimbing anak-anak calon penghafal Al Qur’an di Markaz Utrujah yang dirintis oleh DR. Sarmini Lc. MA. Seorang Akhwat tangguh yang berani mengambil pilihan memenangkan Allah dan dakwah di atas kesenangan pribadinya. Beliau lebih memilih mendampingi anak-anak menghafal setiap ayat demi ayat Al Qur’anul Karim dengan konsekuensi harus terpisah jarak dengan sang suami. Beliau lebih memilih bersabar untuk tidak berjumpa dengan suami yang dicinta demi mengantarkan bocah-bocah calon penghafal Al Qur’an itu menjadi generasi Robbani yang akan menjayakan dan memuliakan Islam dengan Al Qur’an. Sebuah pilihan yang tak mudah memang, tapi beliau telah membuat keputusan.

Dari pribadi–pribadi berjiwa tangguhlah selayaknya kita mengambil teladan. Sebab dalam hidup akan ada begitu banyak tantangan yang mesti kita hadapi. Sebab dalam hidup tak sedikit “persimpangan jalan” yang bakal memaksa kita untuk membuat pilihan dan keputusan. Sebab dalam hidup terlampau sering manusia “dipaksa” menjadi lebih kuat agar tidak mengalah pasrah saat menghadapi masalah.

Dari pribadi–pribadi berjiwa tangguh kita belajar, belajar terus menebar kebaikan. Mereka tak hidup untuk dirinya sendiri tapi juga menghidupkan dan memberi manfaat pada sekitarnya. Mereka percaya dengan penuh keyakinan jika di setiap langkah hidup yang mereka tempuh itu demi Allah dan dakwahNya, maka tak pernah akan ada yang sia- sia. Allah Maha Melihat dan malaikatpun tak akan lalai mencatat.. Mereka sepenuhnya mengimani firmanNya :

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. Ar-Rahman: 60)

Jika sebuah pilihan yang tak mudah telah diambil, benturan dan luka adalah sebuah keniscayaan. Bentuknya bisa jadi berupa perasaan tidak nyaman, godaan keikhlasan, cacian dan celaan, rasa tidak puas serta tuntutan berlebihan dari lingkungan hingga lintasan hati untuk menghentikan perjuangan. Mungkin tidak cukup sekali, dua kali, tiga kali, bahkan mungkin akan berkali-kali benturan dan luka yang akan terjadi. Tapi pribadi berjiwa tangguh tak terlalu risau dengan segala luka dan kepahitan itu. Mereka lebih memilih Allah dari pada sekedar rasa nyaman. Mereka memilih untuk menjadi kuat sebab mereka tahu Allah yang akan memampukan dan menguatkan mereka dengan pertolonganNya.

”…dan merupakan hak Kami, untuk Menolong orang-orang yang beriman…” (QS. Ar-Rum 47)

“Yang pasti modal awalnya azzam yang kuat… kemudian jiddiyah… bersungguh-sungguh…” kata murabbiyah saya sambil menepuk lembut lutut mutarabbi yang sedang bersila di sampingnya. “Akhwat tadi bisa… Bu Sarmini juga bisa… antipun pasti bisa…” sambungnya menguatkan. Tiba–tiba… serasa sebuah pilihan dihamparkan di hadapan saya. Pilihan menjadi tangguh atau pengeluh…? Menjadi gagah atau kalah…? Pilihan pertama lebih indah sepertinya… bagaimana menurut kalian..? [Kembang Pelangi]

Minggu, 28 April 2013

Berkilau dan Bercahaya di Tengah Gulita

Jika engkau merasa bahwa segala yang di sekitarmu gelap dan pekat
Tidakkah engkau curiga bahwa engkaulah yang dikirim Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka
Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu
Sebab sinar mu lah yang mereka nantikan itu
Maka, berkilaulah

[Salim A Fillah, Dalam Dekapam Ukhuwah]

“Anti boleh berhenti… sejenak ” kata saya pagi itu. “Tak hanya anti yang pernah merasa perlu berhenti… saya sendiri mungkin lebih dari sekali… berulang –ulang… tapi ternyata memilih berhenti terkadang juga tak mudah… dan atas rahmat dan kasih sayang Allah… saya masih di sini…” lanjut saya kemudian. “Kadang berhibernasi itu perlu kok… tapi jangan lupa kembali lagi ya…!” sambung teman yang lain menguatkan.

Ya begitulah… adalah sesuatu yang lumrah jika ada kejenuhan pada kerja-kerja dakwah. Apalagi jika kondisi yang ada bukan malah menyemangati tapi sebaliknya. Adalah manusiawi jika muncul lintasan sesaat untuk memilih berhenti saat rekan kerja dakwah yang lain hanya terkesan berlari… tapi berlari di tempat. Saat dalam keadaan ritme kerja dakwah yang seperti itu sangat mungkin yang terlihat di mata kita hanya satu warna saja yakni gelap. Dan tak jarang gelap menggoda kita untuk berhenti melangkah.

Tak hanya kehidupan aktivis dakwah saja yang terkadang disergap gelap. Tak sedikit yang orang lain yang turut pula mengalami hal yang sama. Kehidupan mereka disergap gelap. Tapi mereka memilih untuk berkilau. Mereka justru menjadi sinar, berbagi cahaya kepada sekelilingnya. Ada baiknya kita berkaca dari kisah hidup mereka.

Satu di antara mereka adalah seorang bocah bernama Tasripin. Mungkin beberapa yang lalu nama bocah ini tengah ramai dibicarakan. Semua mata penduduk negeri ini seakan tertuju pada bocah berumur 12 tahun ini. Bahkan orang nomor satu di negeri ini khusus membicarakan bocah ini di akun media sosial miliknya. Tak berhenti sampai di situ, beliaupun memberikan bantuannya. Bagaimana publik tidak tersentak, bocah kecil ini begitu gagah dan tegarnya di usia yang semuda itu. Ia meninggalkan bangku sekolah dan bekerja membanting tulang sebagai buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya. Dalam kondisi hidup yang seperti itu bisa jadi ia memilih untuk pergi atau mungkin memilih mati dari pada hidup dengan menanggung beban yang tidak ringan.Di tengah gelapnya tekanan kemiskinan hidup, Tasripin lebih memilih untuk berkilau. Tasripin lebih memilih untuk menjadi cahaya, berkorban dan bekerja keras demi adik-adiknya. Bukan berhenti. Apalagi mati.

Atau mungkin kita perlu juga diingatkan dengan gadis kecil ini. Sinar namanya. Hidup hanya berdua dengan ibu yang sakit lumpuh di rumah sederhana yang terletak di desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Gadis kecil ini begitu dewasa mengemban tanggung jawab melebihi usianya. Di usia yang masih 6 tahun, ia merawat ibunya selama sang ayah merantau kerja di Negara tetangga, Malaysia. Sinarlah yang membantu dan menemani ibunya selama ini. Mulai dari memindahkan atau menggeser tubuhnya, masak, makan, minum, mandi hingga buang air. Semua itu ia kerjakan sendiri dengan penuh cinta. Sinar memang masih belia. Beban hidupnya juga tak mudah. Tapi, Sinar lebih memilih berkilau dan berbagi cahaya pada ibunya tercinta dengan merawatnya sepenuh jiwa.

Sekali lagi, dari kisah hidup bocah–bocah kecil itu kita patut berkaca. Bocah kecil namun jiwa mereka tak kerdil. Mereka bisa menerobos gelap, mengalahkan keterbatasan kondisi hidup mereka. Mereka lebih memilih menjadi matahari. Mereka lebih memilih untuk berkilau dan berbagi cahaya daripada sekedar meratapi kegelapan. Dan mereka bisa. Begitupun kita, pasti juga akan bisa menjadi cahaya bagi lingkungan dakwah kita. Maka segelap apapun kondisinya, mari berhenti mengeluhkan kegelapan itu… tetaplah berkilau… tetaplah bercahaya.

Sebagaimana petuah seorang kawan, di jalan Aqobah ini…

…Dan harapan itu seperti sebatang lilin… segelap apapun jalanmu… kau tetap boleh menyalakannya… hingga saat semua terjadi... berjanjilah tuk menjadi orang pertama yang membagi cahayamu...
[Sarwo Widodo Arachnida__ mencintai bayang_bayang]

Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]