Keep Move On 'coz if you don't CHANGE you'll DIE

Minggu, 28 April 2013

Berkilau dan Bercahaya di Tengah Gulita

Jika engkau merasa bahwa segala yang di sekitarmu gelap dan pekat
Tidakkah engkau curiga bahwa engkaulah yang dikirim Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka
Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu
Sebab sinar mu lah yang mereka nantikan itu
Maka, berkilaulah

[Salim A Fillah, Dalam Dekapam Ukhuwah]

“Anti boleh berhenti… sejenak ” kata saya pagi itu. “Tak hanya anti yang pernah merasa perlu berhenti… saya sendiri mungkin lebih dari sekali… berulang –ulang… tapi ternyata memilih berhenti terkadang juga tak mudah… dan atas rahmat dan kasih sayang Allah… saya masih di sini…” lanjut saya kemudian. “Kadang berhibernasi itu perlu kok… tapi jangan lupa kembali lagi ya…!” sambung teman yang lain menguatkan.

Ya begitulah… adalah sesuatu yang lumrah jika ada kejenuhan pada kerja-kerja dakwah. Apalagi jika kondisi yang ada bukan malah menyemangati tapi sebaliknya. Adalah manusiawi jika muncul lintasan sesaat untuk memilih berhenti saat rekan kerja dakwah yang lain hanya terkesan berlari… tapi berlari di tempat. Saat dalam keadaan ritme kerja dakwah yang seperti itu sangat mungkin yang terlihat di mata kita hanya satu warna saja yakni gelap. Dan tak jarang gelap menggoda kita untuk berhenti melangkah.

Tak hanya kehidupan aktivis dakwah saja yang terkadang disergap gelap. Tak sedikit yang orang lain yang turut pula mengalami hal yang sama. Kehidupan mereka disergap gelap. Tapi mereka memilih untuk berkilau. Mereka justru menjadi sinar, berbagi cahaya kepada sekelilingnya. Ada baiknya kita berkaca dari kisah hidup mereka.

Satu di antara mereka adalah seorang bocah bernama Tasripin. Mungkin beberapa yang lalu nama bocah ini tengah ramai dibicarakan. Semua mata penduduk negeri ini seakan tertuju pada bocah berumur 12 tahun ini. Bahkan orang nomor satu di negeri ini khusus membicarakan bocah ini di akun media sosial miliknya. Tak berhenti sampai di situ, beliaupun memberikan bantuannya. Bagaimana publik tidak tersentak, bocah kecil ini begitu gagah dan tegarnya di usia yang semuda itu. Ia meninggalkan bangku sekolah dan bekerja membanting tulang sebagai buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya. Dalam kondisi hidup yang seperti itu bisa jadi ia memilih untuk pergi atau mungkin memilih mati dari pada hidup dengan menanggung beban yang tidak ringan.Di tengah gelapnya tekanan kemiskinan hidup, Tasripin lebih memilih untuk berkilau. Tasripin lebih memilih untuk menjadi cahaya, berkorban dan bekerja keras demi adik-adiknya. Bukan berhenti. Apalagi mati.

Atau mungkin kita perlu juga diingatkan dengan gadis kecil ini. Sinar namanya. Hidup hanya berdua dengan ibu yang sakit lumpuh di rumah sederhana yang terletak di desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Gadis kecil ini begitu dewasa mengemban tanggung jawab melebihi usianya. Di usia yang masih 6 tahun, ia merawat ibunya selama sang ayah merantau kerja di Negara tetangga, Malaysia. Sinarlah yang membantu dan menemani ibunya selama ini. Mulai dari memindahkan atau menggeser tubuhnya, masak, makan, minum, mandi hingga buang air. Semua itu ia kerjakan sendiri dengan penuh cinta. Sinar memang masih belia. Beban hidupnya juga tak mudah. Tapi, Sinar lebih memilih berkilau dan berbagi cahaya pada ibunya tercinta dengan merawatnya sepenuh jiwa.

Sekali lagi, dari kisah hidup bocah–bocah kecil itu kita patut berkaca. Bocah kecil namun jiwa mereka tak kerdil. Mereka bisa menerobos gelap, mengalahkan keterbatasan kondisi hidup mereka. Mereka lebih memilih menjadi matahari. Mereka lebih memilih untuk berkilau dan berbagi cahaya daripada sekedar meratapi kegelapan. Dan mereka bisa. Begitupun kita, pasti juga akan bisa menjadi cahaya bagi lingkungan dakwah kita. Maka segelap apapun kondisinya, mari berhenti mengeluhkan kegelapan itu… tetaplah berkilau… tetaplah bercahaya.

Sebagaimana petuah seorang kawan, di jalan Aqobah ini…

…Dan harapan itu seperti sebatang lilin… segelap apapun jalanmu… kau tetap boleh menyalakannya… hingga saat semua terjadi... berjanjilah tuk menjadi orang pertama yang membagi cahayamu...
[Sarwo Widodo Arachnida__ mencintai bayang_bayang]

Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Sebelum Menikah...

“Beruntunglah jika saat ini anti belum menikah…” kata partner kerja saya tiba-tiba.
“Lha kok begitu…??” jawab saya penuh tanya.
”Iya tentu saja... sebab terlalu banyak wow dan haaah… yang bakal anti temui sesudah menikah… itu sebabnya anti lebih beruntung punya waktu lebih lama untuk belajar dan mempersiapkan diri “ demikian partner kerja saya itu menjelaskan, ”beda dengan saya dulu saat memutuskan menikah… tak banyak persiapan mental dan ruhiyah… terlebih lagi persiapan niat… akhirnya saat di awal perjalanan pernikahan saya sering mengalami shock terapy
”Begitulah… jika tidak benar- benar menata niat sejak awal… bukan tidak mungkin bahtera rumah tangga yang telah dibina akan karam dihempas derasnya gelombang masalah,” begitu serius ia menasehati saya.

Banyak hal yang mungkin muncul dan menjadi riak-riak gelombang atau bahkan menjadi tsunami yang bakal menguji jalannya bahtera rumah tangga. Diantaranya orientasi sebelum menikah, jika disorientasi sejak awal, bisa-bisa berbahaya. Misalnya jika bagi wanita orientasi awal menikah untuk melepas beban mencari nafkah. Menikah biar ada yang ngasih biaya, tidak usah susah-susah bekerja. Sebaliknya bagi pria, saat menikah tak perlu lagi mencuci, menyetrika, atau berharap jika mau makan apapun sudah tersedia diatas meja. Lha… jika yang terjadi sebaliknya dan tidak sesuai harapan. Gaji suami yang pas-pasan, cita rasa masakan istri yang tidak karuan, cucian dan setrikaan yang menumpuk bisa jadi ladang subur penyebab pertengkaran. Belum lagi, kekurangan-kekurangan yang perlu disyukuri dan kelebihan-kelebihan yang patut diwaspadai dari pasangan yang dinikahi. Lebih pendiam, kurang cerewet, mendengkur jika tidur, malas mandi, malas dandan, pelupa akut, kebiasaan teledor atau hobi belanja yang kurang sesuai dengan anggaran bisa jadi mengundang persoalan. Ditambah kemudian, kultur dan kebiasaan dari keluarga besar pasangan kita. Mertua yang terlalu baik hingga setiap ada persoalan suami-istri selalu mengambil peran untuk membantu menyelesaikan. Mereka seringkali terlalu khawatir dengan sang anak hingga setiap keperluan masih selalu saja diperhatikan. Hingga tak jarang eksistensi sang menantu jadi terabaikan. Demikian banyak hal, mulai yang sepele hingga yang serius yang bisa menjadi pemicu masalah. Yang bila kurang bijak dalam menyikapi dan menuntaskannya akan berbahaya.

Maka dari itu, sejak awal harus menata persepsi. Menikah tak hanya yang indah-indahnya saja yang merupakan nikmat. Berlelah-lelah mencari nafkah itu juga nikmat. Berusaha memberi senyum termanis di sela lelah mengurus rumah seharian adalah nikmat. Bersungguh-sungguh menerima dan memahami pasangan dengan sepenuh hati itu nikmat. Merebut hati mertua dengan simpati adalah nikmat. Menerima nasehat bijak yang mungkin menyakitkan dari mertua adalah nikmat. Sebagaimana dikatakan Salim A. Fillah, Sebab menikah adalah nikmat dan keindahan kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Sebab rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tanpa makna. Sebab menikah adalah salah satu wasilah untuk mendapat syurga, kecuali bagi yang mejadikannya sebagai fase hidup yang dilewati begitu saja.

Adalah Niat. Itulah persiapan pra nikah yang terpenting yang bisa saya dapatkan dari perbincangan saya dengan rekan kerja saya tersebut. Sebagaimana yang pernah disinggung oleh ustadz Fauzil Adhim di sebuah forum kajian, jika ada seandainya ada 8 kali pertemuan kuliah pra nikah maka hendaknya ada 6 kali pertemuan yang hanya akan membahas 1 hal saja yaitu niat. Innamal a’maalu bin niyaati wa innamaa likullimrii-in maa nawaa. Sebab berbagai macam kitab hadist menempatkan hadist tersebut hampir selalu di awal pembahasan dan menegaskan bahwa apa yang kita peroleh berdasarkan atas apa yang kita niatkan. Dan sebagaimana pengalaman berharga dari rekan kerja saya tersebut. Niat awal ketika mulai memutuskan untuk menikah itulah yang akan menjadi pondasi pijakan kita dalam bersikap dan saat mengambil keputusan penting saat datang persoalan yang genting. Niat pula yang akan menentukan apakah ada barakah di sepanjang perjalanan pernikahan yang dilalui. [Kembang Pelangi]

Sabtu, 27 April 2013

Maafkan Aku Jika Belum Bisa Bilang Cinta

“Mencintai adalah kesiapan untuk memberi”
[Serial Cinta - Ust. Anis Matta]

“Afwan... seandainya ana bisa mencintai anti sepenuh hati,“ gadis cantik yang ada di depanku ketika itu makin deras mengucurkan air mata.
“Jadi… selama ini…??” ucapnya terbata. Tanpa sadar aku melukainya, membuat bahunya tambah berguncang hebat.
“Ana tak bisa bilang cinta… itu resikonya terlampau berat… sedang ana belum melakukan apapun untuk anti… ana belum pernah berkorban sekuat tenaga untuk membantu meringankan setiap beban anti… bahkan dalam setiap sujud belum sekalipun menyebut nama anti dan mengucapkan doa tulus khusus untuk anti… afwan ana harus jujur…” demikian panjang dan lebar aku menjelaskan. Meski, pada akhir pertemuan ada penyesalan yang begitu menyesakkan. Semoga tak pernah terulang di masa depan.

Mencintai adalah sebuah keputusan besar. Demikian kata ust. Anis Matta, di buku Serial Cinta yang belum pernah bosan berulang-ulang kubaca. Beliau mengatakan cinta adalah kata lain dari memberi… sebab memberi adalah pekerjaan… sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat… sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu yang lama… dan pekerjaan berat yang harus ditunaikan dalam waktu yang lama itu hanya mungkin dilakukan oleh orang- orang yang berkepribadian kuat dan tangguh.

Maka beliau mengingatkan, berhati-hatilah saat mengatakan “Aku mencintaimu “. Kepada siapapun. Beliau mengatakan “Aku mencintaimu” adalah ungkapan lain dari “Aku ingin memberimu sesuatu”. Itulah yang sedikit banyak menggerakkanku untuk menata ulang kebiasaan lama yang pernah dengan mudah sering mengatakan “Uhibbukum fillah… aku mencintai antum saudari-saudari ku…”

Aku menginsyafi diri ternyata lebih sering ungkapanku hanya sekedar kata. Sebab jika meraba hati rupanya belum banyak yang kulakukan untuk membuktikan cinta pada saudara-saudaraku seiman. Pada saudara-saudaraku sepergerakan. Pada mad’u yang pernah kupegang. Pada siapapun. Karena ungkapan cintaku  butuh pembuktian. Sebab jika tak ada pembuktian, integritas diri bakal menghilang. Tak salah jika akan lenyap rasa kepercayaan. Dan tak ada cinta tanpa kepercayaan.

Mencintai adalah kesiapan untuk memberi. Memberi pertolongan maksimal saat saudara-saudaraku membutuhkan. Dengan ide, tenaga dan isi kantong jika perlu. Memberi pundak untuk bersandar jika mereka mulai merasa lelah dengan segala beban. Memberi pelukan hangat saat mereka butuh untuk dikuatkan. Memberi senyuman semangat meski kadang batin juga sedang terguncang hebat. Memberi kualitas pertemuan terbaik di sela kepadatan jadwal masing-masing. Tak lupa pula, memberi doa terindah dalam sepi di setiap sujud panjang di hadapan Rabb kita. Demikian sederet pembuktian yang mungkin bisa dilakukan saat aku mengatakan pada mereka “Uhibbukum fillah”. Tak pantas kiranya jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.

Itu yang pada akhirnya membuatku lebih berhati-hati untuk tidak mengumbar deklarasi cinta belakangan ini. Aku menggantinya dengan “I’ll try to love you…hardly”. Dengan harapan, aku berazzam untuk tidak berhenti berusaha mencintai saudara-saudara seiman dengan sepenuh hati. Dan yang terpenting, mencintai mereka dengan sepenuh bukti.

Hingga besar harapan termasuk golongan yang disebut dalam sabda Sang Nabi ini.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.”.

Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Senin, 22 April 2013

Jangan Jadi Sekedar "Tukang Dongeng"

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shaff 2-3)

“Jadilah orang yang punya dongeng, tapi jangan jadi orang yang hanya tukang dongeng”. Kalimat ini saya copas dari blog tetangga sebelah, saat browsing mencari inspirasi dan bahan untuk tulisan saya. Kalimat ini begitu menggelitik bagi saya dan tak ada salahnya jika saya bagi juga untuk lainnya. Sebab saya merasa tema ini layak untuk saya ulas sebab sedikit banyak akan jadi nasehat berharga bagi diri saya sendiri.

Tak sedikit orang yang diberi Allah kelebihan dalam hal kecerdasan berbahasa baik itu secara verbal maupun non-verbal (tulisan). Itu akan menjadi sebuah anugrah luar biasa jika seseorang menyadarinya dan mengasahnya hingga menjadi kompetensi positif yang bisa diandalkan, terlebih bagi orang yang hidup dalam dunia harakah dakwah. Berdakwah dengan lisan ataupun dengan pena.

Dan takdir Allah menjadikan saya salah satu manusia beruntung di jagad raya ini, sebab beberapa tes psikologi online yang coba saya ikuti hampir selalu memasukkan skill “Communication” sebagai salah satu Strength yang harus saya asah dan kembangkan.

Ketika berkaca dalam kehidupan sehari-hari, indikasi yang sama pun begitu terlihat. Saya begitu suka bercerita,berdiskusi, mengobrol panjang dan lama. Dengan siapa saja terlebih lagi dengan teman- teman curhat saya yang setia. Rentang waktu hingga berjam-jam sudah pernah terlampaui. Medianya pun tak terbatasi harus bertemu fisik, lewat perantara sinyal maupun media sosial. Temanya bisa apa saja. Tak salah jika pernah ada yang ngguyoni, hobi kok diskusi… aneh. Saya hanya senyum saja waktu dibilang begitu. Begitupun saat berjumpa dan duduk bersama dengan teman-teman di harakah dakwah. Tak jarang saya berbagi “dongeng” apa pun dengan harapan bisa saling menyemangati dan menguatkan satu sama lain. Tentang keikhlasan, ukhuwah, jiddiyah atau bahkan yang paling ekstrem, tentang bertahan dalam harakah dakwah. Yang saya sadar itu semua tak mudah.

Rupanya tak hanya secara verbal, tak disangka dalam bentuk tulisan juga ternyata “dongeng” saya tidak terlalu jelek untuk dibaca. Setidaknya itu pendapat orang yang ada di sekitar saya. Meski lumrah juga jika ada yang mengatakan sebaliknya. Tapi berhubung saya orang yang ndableg, demikian murabbiyah saya jika menjuluki, jadi maju terus saja. Tetap menulis apapun yang terjadi. Dan biarlah Allah saja yang berhak menghakimi.

Tapi saat saya menemukan kalimat di atas tadi saya jadi khawatir sendiri. Dan memunculkan tanya dalam hati. Apakah apakah dongeng-dongeng yang sudah saya bagi sudah benar-benar saya lakukan sepenuh hati sebelum saya sampaikan pada orang lain. Apakah setiap kata-kata nasehat yang saya tulis selama ini sudah lebih saya alamatkan pada diri sendiri sebelum orang lain. Aah... betapa saya harus lebih sering berkaca dan meraba hati. Jika saya pernah berdongeng tentang hakikat keikhlasan, maka saya seharusnya jadi orang pertama yang mengamalkannya. Jika suatu waktu saya bercerita tentang orang orang yang tangguh dan matang secara tarbiyah, maka saya pun wajib bersungguh-sungguh untuk menjadi bagian dari mereka. Jangan sampai saya terlampau sibuk menjadi pendongeng tapi lupa untuk menciptakan dongeng hidup saya sendiri. Jangan sampai sebab terlampau sibuk berkata-kata saya jadi lupa untuk bekerja dan beramal nyata. Alangkah hina jika saat berjumpa dengan Nya… ayat ini diacungkan di hadapan saya.

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff 2-3)

Meski begitu, saya tetap harus jadi pendongeng yang juga tidak lupa menciptakan dongeng saya sendiri. Saya tetap harus beramal dan bekerja nyata tak hanya berkata-kata. Tak mudah memang tapi layakkah meminta syurga jika hanya dengan berdiam diri saja. Tidak begitu kiranya. Wallahu a'lam bish-shawab. [Kembang Pelangi]

Jumat, 19 April 2013

Kejora di Langit Hati




Tahukah engkau
Engkau laksana KEJORA
Bintang paling terang di langit hati
Namun apa daya.....
Ternyata engkau terlalu tinggi
Tangan ini tak sanggup menggenggammu
                Butuh lebih banyak IMAN
                Butuh lebih banyak keTAATan
                Lebih banyak PENGORBANAN
Bukan.....bukan untuk engkau....!!!
Iman....ketaatan.....dan pengorbanan itu... Namun untuk DIA
Hingga di MataNYA
Tangan ini layak  merasakan KILAU mu....


[kini.....Allah memang tak memberi KEJORA tapi menganugrahkan padaku MATAHARI dengan sinar yang lebih HANGAT, lebih DEKAT dan yang pasti lebih SUCI.......*semoga....]

Di Titik Terlemah Ujian Datang



Ujian adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Sebagai pribadi biasa atau pribadi yang bertitelkan aktivis dakwah yang  hidupnya penuh warna. Ujian pasti datang menghampiri  dan turut memberi warna dalam salah satu atau bahkan sebagian besar fragmen kehidupan kita. Ujian akan selalu datang, datang dan datang jika kita telah mengaku beriman. Tak hanya sekali. 

Firman Allah QS. Al Ankabuut [29]: 3
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan kami telah beriman dan tidak akan diuji..? dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta ”

Dari potongan ayat tersebut di atas, bolehlah dikatakan jika ujian adalah sebuah alat evaluasi. Alat evaluasi yang  dipergunakan oleh Allah untuk menguji kelayakan dan komitmen seorang hamba jika ia telah mengaku beriman. Untuk menguji apakah seorang hamba “layak” untuk naik ke level keimanan yang lebih tinggi. Untuk menguji apakah seorang hamba benar- benar beriman sepenuh hati. Atau jangan –jangan ikrar Syahadatain yang telah diucapkannya hanya menjadi Lip Service belaka. Sebab setiap yang diucapkan membutuhkan pembuktian.

Ada satu hal yang menarik yang terdapat pada salah satu tulisan Syaikhut tarbiyyah ust. Rahmat Abdullah mengenai ujian. Beliau mengatakan “Engkau akan diuji pada titik terlemah yang engkau miliki”. Kita sering sadar jika datangnya ujian Allah itu sesuatu yang lumrah.tapi yang mungkin jarang  kita sadari bahwa Allah itu akan menguji pada titik terlemah yang kita miliki. Kita kan diuji pada titik dimana kapasitas dan kualitas diri kita dianggap Allah masih kurang dan membutuhkan peningkatan. Kita akan diuji pada kelemahan yang harus dihilangkan. 

Jika titik kelemahan kita ada pada rendahnya tingkat pengendalian emosi maka Allah tidak akan menguji kita berkaitan dengan kelemahan menjaga batas-batas hubungan dengan lawan jenis. Kita kan lebih sering dipertemukan dengan orang-orang yang bawaannya selalu memancing emosi. Kita akan sering dipertemukan dengan orang-orang yang berseberangan sudut pandang dan pola pikirnya dengan kita. Yang Setiap kali bertemu pasti menyulut pertengkaran. Allah akan makin menambah persoalan-persoalan pelik yang mungkin bisa meledakkan emosi kita. Ujian –ujian itu tidak akan berhenti sampai Allah memandang kita mampu memenej emosi kita. Dan selama kita belum bisa menghadapi dan mengatasi semua itu, ujian tersebut akan terus datang.

Begitu juga jika kita adalah pribadi yang mudah tergoda kemilaunya harta dunia. Maka, ujian yang datang juga tidak akan berupa hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana cara mengendalikan emosi atau menahan godaan dari lawan jenis. Bisa dipastikan Allah akan membuka leba-lebar kesempatan bagi kita untuk mengelola anggaran keuangan. Allah akan makin memperlihatkan fasilitas- fasilitas duniawi yang mengoda untuk kita kejar. Allah ingin mengetahui apakah kita sudah amanah dan qona’ah ataukah sebaliknya.

Demikianlah, Sebagaimana yang disampaikan ust. Rahmat Abdullah, kita memang akan diuji di titik yang memang membutuhkan perubahan. Allah akan memberikan ujian sebagai washilah untuk memperbaiki diri. Dengan ujian, Allah memberi kesempatan untuk menghilangkan titik-titik kelemahan yang masih melekat pada diri kita. Dengan harapan bahwa kelemahan-kelemahan itu tak lagi menjadi noda-noda yang memburamkan potret diri kita sebagai hamba di hadapan Allah. Dengan ujian kiranya seorang hamba bisa berubah kian hari kian bertambah ketaatan padaNya. Maka, jika seorang hamba makin bertambah keimanan dan ketaatan pada Nya secara otomatis akan meningkat pula posisi levelnya di sisi Allah.

Dakwah Kampus Anti-Mutung

“Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi”

[Jika aku tak bersama mereka, aku tak akan bersama selain mereka. Dan bila mereka tak bersamaku, mereka akan bersama selain aku]

“Lha ne kabeh mutung trus piye…??” begitu kata seorang murobbiyyah sore itu. Yang terjemahan bebasnya adalah “lha kalau semua ‘mogok’ terus bagaimana..?”

Seperti biasa, hari Jum’at selalu membawa berkah. Pencerahan datang tiba-tiba. Sambil menunggu jemputan bercengkramalah keduanya, si Murobbiyah dan mad’unya. Meluncurlah cerita dari bibir si mad’u mengenai kegelisahannya beberapa hari ini. Sebab dirasa-rasa bahtera dakwah kampusnya makin lama makin goyah. Lha.. kenapa??. Sebab seiring berjalannya waktu ia merasa bangunan dakwah kampusnya makin sepi penghuni. Jumlah para pengusung dakwahnya makin lama makin mendekati stadium parah, bukan malah bertambah. Meski di tengah segala keterbatasan yang ada, anggota-anggota yang tersisa masih tetap terus berusaha melangkah. Walaupun lebih bisa dibilang tertatih-tatih.

Saat regenerasi kader berjalan lambat apalagi mandeg, adalah sebuah konsekuensi jika kader-kader yang senior harus tetap terus menjalankan roda organisasi. Mereka harus tetap aktif dan produktif dalam dakwah kampus tersebut. Syuro, seminar, kajian rutin, atau bahkan apapun jenis acaranya harus tetap mereka datangi. Meski saat mereka berkaca, usia mereka tak lagi muda. Bangku kuliah juga telah mereka ditinggalkan sebab telah dinyatakan lulus seusai prosesi wisuda. Bahkan mungkin beberapa dari mereka telah atau juga akan menikah. Dunia yang mereka geluti tak lagi dunia kampus yang penuh gelora tapi berganti dunia kerja yang harus mereka jalani. Namun, lagi-lagi itu bukan jadi alasan mreka untuk pergi. Sekali lagi tidak. Sebab mereka punya kesadaran, ada kewajiban yang masih harus ditunaikan hingga ada pengkaderan.

Jika bukan mereka lalu siapa lagi. Sebab jika mereka mengaku kader sejati, maka demi Allah mereka tak akan rela dakwah kampus yang telah membesarkan dan menaungi mereka selama ini mati begitu saja. Karena tak berpenghuni. Jangan disangka, godaan untuk pergi meninggalkan pasti pernah terbesit di hati. Seribu macam alasan bisa saja dibuat untuk menghalalkan mereka melakukannya. Tapi lagi-lagi, hati nurani mereka berbisik menguatkan “Jika bukan kalian…!! Siapa lagi…??” . Tak hanya itu, jika diingat kembali lewat pintu dakwah kampus inilah mereka mulai mengenal nikmat dalam tarbiyah. Berdakwah mengusung risalah Allah adalah nikmat. Berukhuwah penuh cinta dengan saudara seiman adalah nikmat. Saling menopang dan memecahkan persoalan dakwah demi ummat adalah nikmat. Lalu apakah persoalan personal semisal kerja, menikah, atau ambisi-ambisi pribadi akan jadi penukar yang pantas. Tidak demikian kiranya. Oleh sebab kesadaran itu semua, mereka masih tetap berusaha setia berjuang dalam dakwah kampus tersebut.

Meski, adalah manusiawi jika tak jarang mereka merasa letih. Merasa bosan dengan segala kondisi seperti ini. Jenuh seakan tak ada perubahan yang terjadi, betapapun mereka sudah berusaha. Seakan ingin berlari saja. Tapi benarlah ucapan si Murobbiyah “Lha ne kabeh mutung trus piye…??” Apa jadinya dakwah yang selama ini sudah dibangun. Siapa yang akan jadi penolong bagi agama Allah..?? Meski Allah sudah berjanji jika satu generasi lemah dan tak bisa menyandang amanah dakwah maka sudah pasti Allah akan menggantinya dengan generasi yang jauh lebih baik. Dan Allah tak pernah mengingkari janji-Nya. Mereka tahu itu. Dan lagi, alangkah ruginya jika mereka tidak turut menjadi bagian dari generasi tangguh yang dijanjikan Allah itu. Jika tidak bersama dakwah mereka berjalan lalu bersama siapa lagi. Sedangkan tanpa mereka, dakwah akan terus berjalan. Maka, pilihan terbaik adalah tetap bertahan.[Kembang Pelangi]

Jumat, 12 April 2013

Ruh Sebuah Amal


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi08V9XaHudezkMktoQjgiibYgaDKkTClVyRe4JaedN0tWOBCp-oGMNohuohTbX1RaNkXXJ8snodHiyO0Q-_onNOlTEww3kMUxAf-Qv4BjWhL5iM2CaVCRwNMydE5Mcg_7LvlErPIAZiQ/s1600/Ruh+Amal+Shalih.jpg

Amal itu ibarat sebuah jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya
[Ibnu Atha’illah]

Tak mudah itu bukan berarti tak mungkin. Itu yang saya coba untuk percaya. Dan tanpa henti, saya yakinkan pada hati. Terlampau sering saya beramal tapi kemudian di penghujung setelah sebuah amal dilakukan, saya tiba-tiba menjadi ragu apakah amal yang saya lakukan akan berbuah pahala. Apakah seiring berjalannya waktu, saya akan benar-benar mampu menjaga ikhlasnya niat atas amalan tersebut.

Hati–hati dengan godaan keikhlasan. Begitulah, taujih yang disampaikan pimpinan kami di ladang dakwah baru ini, tempat bagi kami, para penulis pemula bernaung. Beliau awali pertemuan kali itu dengan kisah seorang mujahid yang tak banyak dikenal dalam sejarah. Bahkan dalam buku shirah yang sering kita baca,hanya satu kali saja namanya disebut. Tak lebih dari itu. Namanya, Tsabit bin Arqam. Beliau ikut berperang, berjihad. Dan menjadi penyelamat bendera kaum muslimin di perang muktah ketika itu. Dan sekali lagi ia tidak banyak dikenal dan tak ingin terkenal. Tapi bukan berarti jasanya dipandang remeh dan tak berarti. Sebab pasti tercatat disisiNya. Begitupun, sebaiknya kami meneladani sahabat tersebut, berazzam sekuat tenaga menata niat dan keikhlasan saat kami berdakwah dengan pena. Terus beramal dan berkontribusi tak peduli dikenal atau tidak.

Bukan berarti itu sebuah bentuk prasangka dan rasa tak percaya. Tapi hakekatnya itu sebagai bentuk cinta beliau pada kami, agar sejak awal kami tak salah langkah. Agar buah karya yang kami tulis sepenuh hati mampu berbuah pahala. Dan atas izin Allah, buah karya kami mampu menuntun pembacanya lebih dekat pada jalan cahaya. Sebab beliau berharap perkataan hikmah dari Al Jahiz berlaku pada kami, “Perhatikanlah wahai para penulis. Jika engkau melakukannya tanpa keikhlasan maka tulisanmu akan menjadi seperti buih yang hilang selayaknya tumbuhan di musim buah yang terbakar oleh angin musim panas”. Yang senada pula dengan Firman Allah, “Adapun buih maka ia akan segera hilang, sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu akan tetap di bumi” (QS. Ar Ra’d : 17).

Sekali lagi, tak salah yang beliau sampaikan. Begitulah realitas yang mungkin dialami oleh seorang penulis yang lama apalagi yang masih pemula. Godaan keikhlasan bisa datang kapan saja. Saat merampungkan sebuah tulisan, dipublish kemudian dibaca. Tak berapa lama, muncul komentar positif maupun negatif. Jika yang komentar jenis yang kedua mungkin kita sudah mempersiapkan diri dan waspada. Justru yang bisa jadi bahaya sesungguhnya adalah komentar jenis yang pertama. Pujian lewat FB, mention di Twitter, sms yang menerbangkan ke awang–awang dan bahkan pujian langsung secara lisan di depan mata. Itu semua bakal jadi bibit benalu riya’ yang akan tumbuh subur dalam hati kita. Adalah bijaksana jika kita benar-benar bisa waspada. Sebab jika terjebak riya, musnah dan sia-sia belaka buah karya kami.

Meski, sejatinya kita semua tak pernah bisa menghakimi dengan pasti. Apakah amalan yang telah kita lakukan sudah benar-benar ikhlas dan terbebas dari “syirik kecil” alias riya atau sebaliknya. Karena memang keikhlasan itu termasuk salah satu kata sifat yang paling sulit digambarkan wujudnya. Sebagai mana dalam kalimat hikmahnya, Al Juneid berkata “keikhlasan itu rahasia antara Allah dengan seorang hamba. Tidak diketahui malaikat sehingga tak bisa ditulis, tidak diketahui oleh syaitan sehingga tak bisa dirusak oleh syaitan, tidak juga bisa dikenali hawa nafsu sehingga tak bisa disimpangkan olehnya”.

Keikhlasan tak bisa direkayasa atau dibuat-buat, ia akan mengalir begitu saja dalam jiwa. Itu pekerjaan yang tak mudah. Bahkan mungkin, lebih dari sekedar sulit. Sebagaimana yang dikutip Al Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin, Sahl bin Abdullah ditanya “Apakah hal yang paling berat yang dilakukan oleh jiwa…? “ Beliau menjawab “Keikhlasan, karena jiwa tidak punya bagian untuk mengendalikannya”

Akhir kata, Ikhlas itu tak mudah. Tapi sebagai mana yang saya percaya, bukan berarti itu tak mungkin jika kita benar- benar berupaya. Sebab surga juga tak murah. Butuh mujahadah. Dan, ikhlas tak hanya diperlukan saat menulis saja tapi pada setiap amalan apapun yang hendak kita lukis dalam sejarah usia kita. Karena dengan kekeikhlasan, segala amalan kita serasa lebih bernyawa, lebih punya ruh. Sebagaimana kata- kata hikmah Ibnu Atho’illah dalam karya fenomenalnya, Al Hikam “Amal itu ibarat sebuah jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”

Selamat Bermujahadah. Semoga beroleh surga.

Senin, 01 April 2013

Ketika Ikhwan Memilih Pendamping Hidupnya

“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.”

(HR Bukhari secara mu’allaq dari ‘Aisyah, dan Muslim dari Abu Hurairah)

“Ikhwan zaman sekarang itu pemilih dhek“ Ucapan itu meluncur begitu saja dari lisan murabbiyah pertamaku ketika kami duduk bersama di satu walimah. Aku hanya tersenyum simpul sambil menganggukkan kepala.
“Wajar mbak... mihwarnya sudah beda... dulu dan sekarang,” Demikian jawabku dengan entengnya. Sebuah jawaban “cerdas” yang sering kami, generasi terkini dakwah, pakai pula sebagai alasan ketika kami “kepepet” dengan komitmen dan tuntutan tertentu dalam dakwah.

Kemudian beliau mulai berkisah tentang fenomena seperti ini yang beliau alami beberapa hari sebelum kami bertemu. Ada seorang ikhwan “generasi terkini” yang minta bantu untuk diproseskan. Si perantara sudah mengiyakan untuk membantu. Tak lama data pun diberikan pada si ikhwan. Data istimewa. Yang menurut si perantara profil akhwat yang diberikan tersebut layak disebut qualified, sebab si akhwat cukup berkibar kiprahnya dalam dakwah. Akhwat pintar, demikian puji beliau. Alih-alih bisa berlanjut ke proses selanjutnya, malah kalimat menggemaskan yang beliau dapat, “Waah... kira-kira ada yang lebih sedap dipandang lagi ndak ya?”. Gubraaaaak!!!!

Tidak sepenuhnya salah ketika seorang laki-laki memilih wanita yang cantik parasnya. Dan Islam pun memperbolehkan itu.Bahkan Rasulullahpun menganjurkan untuk nadhor, melihat lebih dahulu calon pasangan sebelum seorang sahabat beliau memutuskan meminang dan menikahi seorang perempuan kala itu. Sebab Islam menghargai sisi–sisi manusiawi yang memang lumrah dalam diri lelaki. Dan Rasulullah pernah memberi bingkai yang jelas mengenai ini dalam sabdanya.

“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi saya pribadi, adalah sebuah kebebasan bagi semua laki-laki untuk memilih, berdasarkan alasan yang mana dia menikahi seorang wanita. Sebab harta. Sebab nasab baik yang terjaga. Sebab indahnya raga. Ataukah sebab keindahan akhlaq dan agamanya. Dan yang terakhir itulah alasan yang teragung dan pasti beruntung. Demikian janji rasul-Nya, terserah mau memilih yang mana. Dan dari sanalah gambar diri seorang lelaki terpantul. Apakah ia lelaki lumrah sebagaimana biasa atau justru ia lelaki luar biasa.

Dan lelaki berikut ini adalah sedikit contoh nyata. Mereka memilih menjadi lelaki luar biasa.

Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram. Kisahnya cukup banyak dikenal. Suatu ketika ia bertemu dengan Rasulullah, beliau bertanya “Wahai Jabir, apakah benar engkau telah menikah?”. Jabir menjawab “Betul, wahai Rasulullah”. Beliau bertanya, "Dengan perawan ataukah dengan janda?" Jabir menjawab, “Dengan janda.” Beliau bertanya, “Mengapa kamu tidak menikah dengan seorang perawan, sehingga kamu bisa bercanda dengannya?” Jabir menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai beberapa orang saudara perempuan, dan aku khawatir jika istriku menjadi penghalang hubunganku dengan mereka.” Beliau bersabda, “Sudah benar jika memang demikian. Sesungguhnya, seorang perempuan itu dinikahi karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya. Hendaklah kamu mengutamakan perempuan yang memiliki agama, niscaya kamu tidak akan merugi.”. Dan sekarang kita tahu, ternyata kisah Jabir bin Abdillah yang melatar belakangi hadist Nabi yang saya kutip di atas.

Lelaki kedua, Usamah bin Zaid bertemu dengan wanita luar biasa, Fatimah binti Qais. Dikisahkan Fatimah binti Qais telah ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya. Kemudian beliau mendatangi Rasulullah. Rasululllah kemudian memerintahkan “Tungggulah masa iddah mu dan jika telah selesai kabarkan padaku.” Saat masa iddahnya selesai, Rasulullahpun beliau kabari. Kemudian datanglah Mu’awiyah maju melamarnya, juga Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, ia seorang fakir yang gemar memukul wanita. (Menikahlah) dengan Usamah bin Zaid.” Fathimah berkata dengan tangannya yang bergerak-gerak demikian (mungkin sebab tak setuju), Namun Rasulullah berkata, “Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya adalah lebih baik bagimu.” Pada akhirnya Fathimah berkata, “Maka aku pun menikah dengannya dan aku menjadi gembira.”

Yang ketiga ini mungkin bukan sahabat yang hidup pada zaman Nabi. Lelaki ini hidup di zaman ini. Saya mengenal beliau dan istrinya sejak keduanya belum menikah. Bersama salah seorang akhwat yang lain, mereka bertiga bekerja sama merintis sebuah usaha bersama. Sebuah toko buku dan majalah, Jendela Ummi namanya. Dan saya salah seorang pegawainya kala itu. Di mata saya keduanya orang yang baik, sholih dan sholihah. Apalagi setelah lebih dalam mengenal beliau berdua saat berkecimpung aktif di harakah dakwah..

Yang muslimah seorang wanita cerdas lulusan universitas kedokteran terkenal di Jawa Timur. Beliau seorang akhwat paling lembut, sabar dan telaten yang pernah saya kenal. Terus terang, hingga sekarang belum pernah saya melihat guratan marah di wajahnya. Sejak saya hanya menjadi pegawainya sampai menjadi ustadzah pengajar untuk kedua anaknya di sekolah. Dan akhwat-akhwat lain yang saya temui pun, berkata yang serupa. Beliau orang baik. Begitupun lelaki ini atau ikhwan lebih tepat saya menyebutnya, tak kalah sabar, lembut tapi lugas jika berkata-kata. Begitu amanah mengemban tugas-tugas dakwahnya.

Pernah terlintas di pikiran saya ketika itu, pasti akan “klop” jika keduanya bersatu. Sudah saling kompak saat menjalankan usaha yang dirintis bersama. Sebuah pikiran kekanak-kanakan saat saya masih muda dulu. Ah tak mungkin… jurang usia mereka terlampau jauh. Yang muslimah cukup matang untuk seorang lelaki muda. Tak hanya itu, strata pendidikan mereka juga tak serupa. Dokter yang hampir lulus S2 disandingkan dengan lulusan Diploma. Terlebih, keluarga apa mungkin merestui dengan latar belakang yang begitu.

Tapi hari itu saya begitu terkejut dan hanya bisa berucap Subhanallah… Maha Suci Allah.tanpa disangka-sangka kartu undangan pernikahan mereka tiba. Dan saat menghadiri walimah keduanya terselip do’a terindah. Semoga pernikahan mereka Sakinah, Mawadddah,wa Rahmah. Semoga pernikahan suci mereka abadi hingga Jannah.

Dan saya percaya, sosok lelaki luar biasa tidak hanya mereka. Masih banyak lagi yang ada di luar sana. Bagi wanita, muslimah, akhwat baik yang mungkin tak cantik di pandangan dunia. Teruslah mempercantik diri di hadapanNya. Sebab Rasulullah sedikit memberi kabar gembira.

“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Bukhari secara mu’allaq dari ‘Aishah, dan Muslim dari Abu Hurairah)

Salim A. Fillah mengurai hadits di atas dengan jelas. Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Imanlah yang menjadi sandinya. Yang jika kadar iman serupa. Cukup itu saja. Keduanya akan sepakat, bergerak apa satu tujuan yang diyakini. Cinta Ilahi. Jika sebaliknya, maka keduanya akan berbeda. Dan sejak awal tak hendak menyatu. Wallahu a’alam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Kembali Menyemai Cinta pada Al Qur'an

Kembali Menyemai Cinta pada Al Qur'an“Sebab para mujahid pejuang yang ada di Gaza begitu cinta dan yakin dengan Al Qur’an. Hingga Al Qur’an itu tak hanya ada di bibir mereka tapi juga ada dalam dada mereka. Itulah alasan mengapa kota Gaza itu begitu diberkahi”

Siang itu saya rasanya ketiban rejeki. Adalah sebuah keberkahan tersendiri bisa bertemu dengan muslimah yang satu ini. Nama beliau, Dr. Sarmini, M.A. atau lebih akrab disapa Umu Saudah. Di tengah kesibukan “ liburan”, demikian beliau menyebut perjalanan kunjungan- kunjungan “Kampanye Cinta Al Qur’an ” yang dilakukannya beliau menyempatkan hadir di Insititusi tempat saya mengabdi. Beliau adalah penggagas Rumah Tahfidz Utrijah di Jakarta. Hari itu beliau membangunkan kesadaran kami untuk kembali cinta pada Al Qur’an. Dan termotivasi untuk mulai berazzam menghafalnya..

Beliau menyampaikan pada kami yang hadir siang itu bahwa semua orang bisa menghafal Al Qur’an. Sebab Allah telah berjanji akan memudahkan bagi siapa saja yang berazzam untuk melakukannya. Dan sudah terbukti sejak zaman Rasulullah hingga kini, para penghafal Al Qur’an berasal dari latar belakang yang bervariasi. Lintas usia, golongan dan ras. Mulai yang berusia dini hingga yang berusia lanjut, ada dan bisa menjadi penghafal Al Qur’an. Penghafal Al Qur’an tidak juga terbatas pada lingkup Negara Arab atau orang yang mengenal bahasa Arab saja, beliau menyebut nama besar Imam Bukhari sebagai contoh cendekiawan muslim yang hafal Al Qur’a n semenjak kecil meski mereka bukan berasal dari daerah Arab. Sebagaimana nama yang dinisbatkan pada beliau, Bukhara itu nama daerah di sekitar semenanjung Balkan (dataran sekitar Rusia sebelum pecah menjadi negara-negara kecil).

Begitupun dalam hal fisik, itu bukan jadi penghalang. Penghafal Al Qur’an yang tubuhnya normal banyak tapi tak sedikit yang tubuhnya tak lengkap. Tidak cukup hanya tunanetra, bahkan beliau mencontohkan ada seorang yang tunarungu dan tunawicara tapi mampu menghafal 3o juz. Bahkan lebih ekstrim lagi, Dr. Sarmini menyebut jika bukan hanya orang muslim yang mampu menghafal Al Qur’an, missionarispun bisa melakukannya. Subhanallah…. itulah janji Allah.

Selanjutnya, beliau mengungkapkan bahwa segala sesuatu itu keberkahannya dimulai dari Al Qur’an. Maka siapapun, lembaga, dan institusi apapaun terutama lembaga pendidikan, jika lebih mengedepankan Al Qur’an sebagai titik kosentrasi dan pondasi dasar bisa dipastikan akan menuai keberkahannya. Al Qur’an itu membawa berkah. Itulah alasan mengapa kota Gaza itu begitu diberkahi. Meski yang disisakan oleh Zionis Yahudi Israel bagi Palestina itu sekedar tanah –tanah gersang dan tandus sementara mereka menikmati tanah-tanah subur di sekitar perbatasan Rafah dan Tepi Barat. Tapi siapa mengira tanah tandus Gaza mampu menumbuhkan pohon–pohon mangga dengan subur yang mana buah dari pohon tersebut begitu lebat hingga berceceran di tanah. Sebab di tanah itulah pertempuran antara yang haq dan yang batil sedang berlangsung. Sebab para mujahid pejuang yang ada di Gaza begitu cinta dan yakin dengan Al Qur’an. Hingga Al Qur’an itu tak hanya ada di bibir mereka tapi juga ada dalam dada mereka.Siang dan malam mereka disibukkan dengan tilawah dan menghafal Al Qur’an saat tak bertugas jaga. Sehingga atmosfer energi positif dari Al Qur’an itu yang kemudian mendatangkan keberkahan pada kota Gaza sebagai mana kita pernah mendengar kristal air berbentuk indah bisa muncul dari air yang sering diberi perkataan dan energi positif. Dan gelombang yang dipantulkan oleh orang pembaca dan penghafal Al Qur’an itu adalah energi positif.

Beliau menambahkan, mencintai dan menghafal Al Qur’an itu sebagai salah satu usaha untuk mengembalikan kejayaan Islam. Karena kejayaan itu tidak akan kembali kecuali unsurnya sama, yakni kembali pada Al Qur’an. Jika kita melakukan sebagai mana dulu Sahabat Rasulullah lakukan, maka kita bisa mendapatkan kejayaan yang sama. Sebab sekali lagi, faktor pengaruhnya sama. Bukti nyatanya sekali lagi ada di kota Gaza. Mengapa di kota yang begitu sempit dengan penduduk yang begitu padat tapi mereka tidak pernah menyerah untuk melakukan perlawanan terhadap Zionis Yahudi Israel..? Mengapa jika sekian puluh ribu jiwa meninggal akibat pertempuran, seketika itu pula Allah ganti dengan jumlah yang setimpal, bahkan berlipat-lipat..? Sebab Al Qur’an ada dalam dada mereka. Sebab mereka semuanya tak boleh dan tak pernah melepaskan diri dari Al Qur’an. Dan di Gaza paling banyak meluluskan penghafal Al Qur’an. Dan paling banyak menggelar wisuda penghafal Qur’an. Maka Allah pun memberkahi kota Gaza. Itulah yang membuat penduduk dan mujahid pejuang di Gaza punya kekuatan yang begitu dahsyat hingga canggih dan lengkapnya senjata yang digunakan oleh Zionis Yahudi Israel itu tidak berpengaruh apapun bagi mereka. Yang hingga detik ini mampu menjaga masjidil Aqsho tetap berdiri
.
Negara Indonesia itu lebih stabil dan lebih aman daripada Gaza-Palestina. Jika mereka bisa dan mampu, Indonesiapun pasti bisa dan mampu, demikian beliau memotivasi. Alhamdulillah kita patut bersyukur jika saat ini banyak orang tua yang berbondong-bondong mengirim anaknya untuk belajar Al Qur’an. Mungkin jika boleh dibilang trennya sedang mengarah ke sana. Tapi, Dr Sarmini menegaskan bahwa tidak boleh jika itu sekedar tren dan hanya ikut-ikutan. Niatan kita mesti diluruskan kembali. Jika memang kita menginginkan pemimpin masa depan yang mampu mengantarkan kejayaan Islam maka kewajiban kita semua untuk memunculkan generasi tangguh yang memang siap untuk menyongsong kebangkitan umat. Kewajiban kita untuk mengenalkan, mendorong dan memotivasi generasi penerus kita untuk mencintai dan menghafal Al Qur’an.

Dan tentu saja langkah besar itu dimulai dari kita. Dimulai dari saya juga… tentu saja. Mulai lebih mencintai Al Qur’an dengan berazzam menghafalnya. Hingga berkah dari Allah akan hadir tanpa diminta. [Kembang Pelangi]

Berdakwah dengan Pena

Jalinan aneh ini, getar ini : cinta. Dalam segala keterbatasan, kita telah mencoba menebarkannya di jalan – jalan berliku, yang kita lalui. Percayalah, selalu akan sampai pada seseorang.
(Helvy Tiana Rosa, Risalah Cinta)

Membaca dan menulis. Yang pertama, sejak masih belia saya menyukainya. Bahkan hingga kini. Mulai LKS atau kitab setiap mata pelajaran, majalah Mentari, majalah Bobo, Harian Jawa Pos, semua saya baca. Bahkan hingga Salah Asuhannya Abdul Muiz atau Sitti Nurbayanya Marah Rusli saya lahap semua saat sekolah lanjutan tingkat pertama. Hanya mungkin yang tak pernah tersentuh, buku psikologi dan manajemen diri yang murni dengan bahasa baku dan kaku yang terlampau sulit saya pahami hingga kini. Menginjak masa SMA dan bangku kuliah sepertinya semangat baca saya makin menggila. Apalagi semenjak mengenal Harakah Dakwah. Tak pelak, saya tersadar terlampau banyak buku–buku dahsyat yang menggiurkan dan terlampau sayang untuk dilewatkan.

Sedangkan menulis, jujur saya tidak benar–benar menyadari jika saya menyukainya. Meski mengisi diari sudah menjadi kebiasaan yang tak terlewatkan kala masih di bangku sekolah. Saat kuliah, tulisan–tulisan iseng saya hanya menempel di Mading kamar mungil yang saya sewa. Tidak lebih dari itu. Kini Allah memudahkan jalan bagi saya, ada pintu terbuka bagi saya untuk lebih serius menggoreskan pena.

Menulis. Ternyata bukan pekerjaan sederhana. Dengan menulis tanpa sadar kita sedang mendulang pahala. Bagaimana bisa…??. Semua berawal dari niat. Jika niat menulis kita tulus untuk menyampaikan kebaikan. Bukan sekedar demi uang dan kebanggaan. Apapun bentuk tulisan itu, entah puisi, cerpen, novel, artikel ataupun berita tentang kisah nyata. Saya punya keyakinan jika setiap untaian kata penuh makna yang coba kita ciptakan bisa dipastikan akan membekas dalam bagi yang membacanya. Maka sejak pertama yang mesti ditata saat menulis tak hanya sejumlah buku atau artikel yang akan kita jadikan sebagai panduan dan referensi semata. Yang lebih penting dari itu semua. Tentu saja, niat. Saat hanya Ilahi yang jadi motivasi sejati maka keberkahanpun akan datang menghampiri.

Terbukti hati saya sering tertambat pada nama–nama penulis yang saya sebutkan ini. Helvy Tiana Rosa, Anis Matta, Salim A.Fillah, Habiburrahman El Shirazy dan M. Lili Nur Aulia. Betapa banyak pembaca yang merasa tercerahkan setelah membaca karya-karya mereka.

Helvy Tiana Rosa. Penulis wanita penggagas komunitas penulis sastra islami, Forum Lingkar Pena. Cerpen fenomenal beliau Ketika Mas Gagah Pergi telah sukses tak hanya membuat pembacanya menangis haru karena ending cerita yang cukup tragis. Namun, cerpen itu pula yang menggerakkan begitu banyak muslimah muda untuk berbondong-bondong memakai jilbab untuk menjaga kehormatan mereka. Begitupun tak sedikit lelaki muda yang merasa akan terlihat lebih “ganteng” saat mampu berislam dengan baik dan sungguh-sunguh sebagaimana karakter Mas Gagah yang ada di cerpen tersebut. Dan kabar terakhir menyebutkan, jika audisi pemain sedang digelar sebab cerpen tersebut akan segera diangkat ke layar lebar. Semoga berkahnya makin bertambah.

Anis Matta. Siapa yang tidak mengenalnya, terlebih dengan pemberitaan yang bertubi belakangan ini. Publik kini mengenalnya sebagai orator ulung hingga julukan Soekarno Muda melekat padanya. Tapi, beliau tak hanya mumpuni dalam hal berbicara saja. Beliau pun tak kalah fasih saat menguraikan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Entah sudah berapa buku yang beliau rampungkan. Tapi yang pasti dari sekian banyak bukunya, Dari Gerakan ke Negara dan Menikmati Demokrasi menjadi bacaan wajib bagi para anggota KAMMI, sebuah organisasi mahasiswa tempat berkumpulnya para calon pemimpin negeri. Tema tulisan beliau pun bervariasi mulai tema cinta, motivasi, doa sehari-hari hingga konsep alur pemenangan dakwah. Semuanya tak pernah sepi peminat.

Salim A. Fillah, penulis muda yang bukunya banyak diminati. Usianya mungkin baru 29 tahun tapi pembaca bisa merasakan kedalaman dan ketajaman pola berfikir beliau jauh melampaui bilangan usianya. Beliau piawai memadukan dalil, kisah hikmah,dan sastra menjadi sebuah tulisan yang sarat dengan hikamah. Buku Dalam Dekapan Ukhuwah miliknya menuntun pembacanya memahami hakikat ukhuwah yang sejati. Dengan harapan agar membangkitkan kembali kekuatan ummat yang detik ini terserak-serak bagaikan buih yang tak berarti, sebagaimana yang beliau kutipkan dengan jelas hal tersebut pada bagian belakang sampul bukunya.

Habiburrahman El Shirazy, dengan panggilan Kang Abik ia lebih dikenal. Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Dalam Mihrab Cinta adalah tiga buah novel karangannya yang banyak diburu pembaca. Bahkan ketiganya diangkat di layar lebar. Lewat sastra beliau berdakwah, berbagi kedalaman pengetahuan agama yang dimiliki. Sebab hal yang berbau syariah, hukum fiqih, dan muamalah tak selamanya harus disampaikan lewat mimbar- mimbar khutbah. Apalagi di negeri yang jumlah orang yang mampu pendengar yang baik tak banyak ditemui. Dan para duat sejati, pasti tak boleh kehilangan akal bagaimana hal-hal berbau agama tak kehilangan peminatnya. Dan lewat sastra itulah salah satu wasilahnya. Dan sejauh ini beliau belum terlihat gagal dalam mengusung ide dakwah tersebut.

Nama yang terakhir mungkin lebih diakrabi oleh para pembaca setia majalah Tarbawi, Muhammad Lili Nur Aulia. Tulisan–tulisan jernih miliknya masih setia menghiasi lembaran majalah tersebut hingga kini. Kata–kata lembutnya seperti embun pagi yang menetes di jiwa pembacanya. Menyegarkan, menentramkan dan menginspirasi. Sering tulisan beliau mengajak pembaca untuk lebih dekat dan lebih dalam memandang suatu suatu kondisi, masalah dan berbagai hal yang kadang hanya dipandang sebelah mata. Tak sedikit pembaca yang mengakui jiwa dan hatinya tersentuh hingga berubah menjadi lebih bijak setelah membaca tulisannya.

Demikianlah sekian nama yang bisa jadi penyemangat dan sumbu motivasi bagi para penulis pemula seperti saya. Meski tentu saja motivasi paling sejati hanyalah Ilahi Robbi. Setidaknya dari mereka kita bisa belajar bahwa saat menulis kita tidak hanya sekedar merangkai kata-kata. Sebaliknya kita sedang menjalin benang–benang pahala yang bisa jadi dengannya pintu surga bisa terbuka. Sebab kita tak pernah tahu, entah di belahan dunia mana dan pembaca ke berapa yang merasa terinsinpirasi dan tercerahkan oleh tulisan kita. Maka sejatinya kita tak perlu ragu, sebab saat kita menuliskan kebaikan-kebaikan dengan penuh cinta dan niat tulus hanya untukNya, yakinlah.. percayalah akan sampai pada seseorang. InsyaAllah. Maka hanya satu kata dari saya, selamat dan semangat berdakwah dengan pena. [Kembang Pelangi]