(QS. Ash-Shaff 2-3)
“Jadilah orang yang punya dongeng, tapi jangan jadi orang yang hanya tukang dongeng”. Kalimat ini saya copas dari blog tetangga sebelah, saat browsing mencari inspirasi dan bahan untuk tulisan saya. Kalimat ini begitu menggelitik bagi saya dan tak ada salahnya jika saya bagi juga untuk lainnya. Sebab saya merasa tema ini layak untuk saya ulas sebab sedikit banyak akan jadi nasehat berharga bagi diri saya sendiri.
Tak sedikit orang yang diberi Allah kelebihan dalam hal kecerdasan berbahasa baik itu secara verbal maupun non-verbal (tulisan). Itu akan menjadi sebuah anugrah luar biasa jika seseorang menyadarinya dan mengasahnya hingga menjadi kompetensi positif yang bisa diandalkan, terlebih bagi orang yang hidup dalam dunia harakah dakwah. Berdakwah dengan lisan ataupun dengan pena.
Dan takdir Allah menjadikan saya salah satu manusia beruntung di jagad raya ini, sebab beberapa tes psikologi online yang coba saya ikuti hampir selalu memasukkan skill “Communication” sebagai salah satu Strength yang harus saya asah dan kembangkan.
Ketika berkaca dalam kehidupan sehari-hari, indikasi yang sama pun begitu terlihat. Saya begitu suka bercerita,berdiskusi, mengobrol panjang dan lama. Dengan siapa saja terlebih lagi dengan teman- teman curhat saya yang setia. Rentang waktu hingga berjam-jam sudah pernah terlampaui. Medianya pun tak terbatasi harus bertemu fisik, lewat perantara sinyal maupun media sosial. Temanya bisa apa saja. Tak salah jika pernah ada yang ngguyoni, hobi kok diskusi… aneh. Saya hanya senyum saja waktu dibilang begitu. Begitupun saat berjumpa dan duduk bersama dengan teman-teman di harakah dakwah. Tak jarang saya berbagi “dongeng” apa pun dengan harapan bisa saling menyemangati dan menguatkan satu sama lain. Tentang keikhlasan, ukhuwah, jiddiyah atau bahkan yang paling ekstrem, tentang bertahan dalam harakah dakwah. Yang saya sadar itu semua tak mudah.
Rupanya tak hanya secara verbal, tak disangka dalam bentuk tulisan juga ternyata “dongeng” saya tidak terlalu jelek untuk dibaca. Setidaknya itu pendapat orang yang ada di sekitar saya. Meski lumrah juga jika ada yang mengatakan sebaliknya. Tapi berhubung saya orang yang ndableg, demikian murabbiyah saya jika menjuluki, jadi maju terus saja. Tetap menulis apapun yang terjadi. Dan biarlah Allah saja yang berhak menghakimi.
Tapi saat saya menemukan kalimat di atas tadi saya jadi khawatir sendiri. Dan memunculkan tanya dalam hati. Apakah apakah dongeng-dongeng yang sudah saya bagi sudah benar-benar saya lakukan sepenuh hati sebelum saya sampaikan pada orang lain. Apakah setiap kata-kata nasehat yang saya tulis selama ini sudah lebih saya alamatkan pada diri sendiri sebelum orang lain. Aah... betapa saya harus lebih sering berkaca dan meraba hati. Jika saya pernah berdongeng tentang hakikat keikhlasan, maka saya seharusnya jadi orang pertama yang mengamalkannya. Jika suatu waktu saya bercerita tentang orang orang yang tangguh dan matang secara tarbiyah, maka saya pun wajib bersungguh-sungguh untuk menjadi bagian dari mereka. Jangan sampai saya terlampau sibuk menjadi pendongeng tapi lupa untuk menciptakan dongeng hidup saya sendiri. Jangan sampai sebab terlampau sibuk berkata-kata saya jadi lupa untuk bekerja dan beramal nyata. Alangkah hina jika saat berjumpa dengan Nya… ayat ini diacungkan di hadapan saya.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff 2-3)
Meski begitu, saya tetap harus jadi pendongeng yang juga tidak lupa menciptakan dongeng saya sendiri. Saya tetap harus beramal dan bekerja nyata tak hanya berkata-kata. Tak mudah memang tapi layakkah meminta syurga jika hanya dengan berdiam diri saja. Tidak begitu kiranya. Wallahu a'lam bish-shawab. [Kembang Pelangi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar