Keep Move On 'coz if you don't CHANGE you'll DIE

Rabu, 09 Januari 2013

bisa ku rasakan____hangatnya dekapan do'a_____Murobbiku yg ku cinta sepenuh jiwa##Bahkan jauh sebelum jadi "anak"mu______ku rasakan cinta itu...........##Tarbiyah penuh Cinta## harus ku lakukan serupa____saat menjadi MUROBBIYAH##......

Dakwah dg Hati____saat Dakwah kembali Murni____ke jalan Cahaya Lagi____tak sekedar transferMateri.

Kisah si Ukhti3...



Beberapa waktu lalu, Ukhti X, rekanku di sebuah perusahaan dulu mengirimiku sebuah pesan singkat. Isinya benar-benar singkat: "Akhi, antum sedang sibuk gak?"

Saya yang kebetulan waktu itu sedang tidak sibuk langsung saja meneleponnya. Maklum saja, ini memanfaatkan fasilitas nelpon seribu sejam oleh sebuah operator. Begitu mengucap salam dan saling bertanya kabar, dia kembali bertanya apa saya sibuk. Saya bilang tidak, lalu ada apa? Dia menjawab, "Ada yang mau ana tanya, mau minta pendapat antum, tapi via sms aja, ana agak gugup soalnya bicara ini."

Berselang beberapa menit kemudian, tibalah sms yang dijanjikan. Bunyi detailnya begini:
Gini, Akh. Akhi Y dan Z secara bersamaan ngajuin proposal ke ana. Ana yakin antum pasti nyuruh ana istikharah. Ana maunya, sebelum istikharah dengar pendapat dulu. Menurut antum, di antara mereka berdua, yang mana yang lebih baik untuk ana? Dua2nya udah kenal ana dan keluarga. Jawabnya via sms atau e-mail aja ya, Akh. Ana agak gugupan kalau bicara soal kayak gini. Oya, sebelumnya ana kemarin juga sudah dapat proposal dan hasilnya istikharahnya tidak. Tolong pertimbangkan juga soal kemungkinan fitnah, dll ya, Akh..

Wadow! Wat de....
Ini untuk ke sekian kali dimintai nasehat dan pertimbangan dari teman sebaya, adik-adik maupun mereka yang lebih tua. Seolah saya sudah begitu expert dan pengalaman. Padahal saya baru sembilan bulan menikah. Belum benar-benar merasa asam garamnya pernikahan.

Lapor komandan! Dari batalyon infantri Brawijaya bla..bla... menyampaikan ada sms masuk. Segera dibaca! Laporan selesai. 

Nada sms saya kembali merepet. Sms lanjutan dari Ukhti X masuk lagi.
Ana nanya ke antum karena antum mengenal mereka berdua dan antum sudah nikah. Oya, murabbiyah ana sudah menyerahkan sepenuhnya pada ana.

Hmm... Saya mulai memutar otak. Menimbang-nimbang. Baru dua hari setelahnya -sesudah diskusi dengan istri juga- saya mengirim jawaban padanya melalui message di facebook. Jawabannya saya buat dalams sebuah tulisan berjudul "Ini Tentang Pertanyaanmu". Begini isinya:

Ini Tentang Pertanyaanmu

Assalamu'alaikum

Ukhti X yang dimuliakanNya karena telah bertetap hati memilih jalanNya,
Menjawab pertanyaanmu itu sungguh berat. Seberat selusin karung beras membebani pundak. Sebab ini bukan remeh temeh. Sebab ini menyangkut masa depan. Kata seorang bijak, "Salah memilih pasangan hidup akan membuat kita menyesal seumur hidup." Sebab karena memang kita meniatkannya hanya sekali seumur hidup, hatta bagi seorang lelaki sekalipun akan berpikir ribuan kali untuk menikah kedua kali.

Namun, aku harus tetap menjawab pertanyaanmu. Yah, mungkin ini tak bisa menyelesaikan semua gundahmu. Tapi setidaknya aku harus memenuhi kewajiban sebagai saudara seiman. Bukankah ini adalah tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa?

Tetapi aku harus ingatkan, bahwa meskipun aku berupaya seobjektif mungkin, tetap saja pendapat ku ini dipenuhi dengan subjektivitas. Semuanya menurutku. Sependek yang aku tahu dan alami dari pengalaman empiris membersamai mereka. Bahkan kau sebenarnya lebih mengenal mereka. Karena kau mengenal mereka sebelum aku mengenal mereka. 

Saudariku yang baik,
Begini saja. Aku akan langsung utarakan pendapatku. Menerima proposal dari dua ikhwan sekaligus adalah "kemewahan" bagi seorang akhwat. Karena di luar sana ada banyak akhwat yang sudah kelelahan menunggu. Bahkan sampai usia kepala empat. Hingga kemudian mereka "mengikhlaskan" suami mereka bukan "tempaan tarbiyah". Asalkan hanif, asalkan shalat, asalkan bisa baca Qur'an sampai di ujung klimaksnya bagi yang tak sanggup bersabar: asalkan dia muslim dan mau. Sebagian lain memilih menempuh jalan sunyi: melajang untuk sementara sembari tetap mengikhtiarkan upaya dan doa agar lekas menemukan teman bersanding di pelaminan. Jadi, pertama kali syukurilah kedua proposal itu.

Nah, sekarang mari bicara soal fitnah yang kau khawatirkan. Pernyataanmu kemarin yang mengingatkan soal ini seolah ingin mengeliminasi Akhi Y. Padahal, jikapun jadi dengan Akhi Z, bukankah peluang timbulnya fitnah tetap ada? Karena kita semua satu tim dalam organisasi XYZ. Itu sudah cukup untuk setan melakukan propaganda bejatnya: aktivis dakwah pun pacaran di balik mihrab wajihahnya. Menurutku, dalam hal ini, mereka berdua sama saja. Meskipun Y sebenarnya sudah jamak diketahui publik (yang mengenal kalian berdua) bahwa dia menaruh hati padamu.Tapi itu semua bisa dijawab. Syariat tak mengharamkan cinta pranikah. Dia fitrah yang tak boleh dibunuh, tapi ia harus dipelihara sesuai tuntunannya. Dan menikah adalah jawabannya.

Lalu, bagaimana kau harus memilih? Seperti kata hadits Nabi, lihatlah agamanya. Mereka berdua kader tarbiyah. Terbina dengan baik insya Allah. Tapi apakah rutinnya mereka ikut halaqah pekanan sudah cukup menjadi jaminan? Tentu tidak. Sebab ikhwan itu tak sesempurna Fahri, Azzam ataupun Mas Gagah. Oleh sebab itu, manfaatkanlah ta'aruf untuk lebih memahaminya. Kalau perlu, tanyakanlah pada murabbi mereka tanpa sepengetahuan mereka. Karena lembar mutabaah yaumiyah tidaklah selalu tetap. Ia fluktuatif. Cobalah, agar tak ada lagi akhwat yang kecewa setelah menikah, "Ah, aku ditipu suamiku. Subuhnya saja sering kesiangan. Dhuha dan tahajjudnya pun jarang. Konon lagi tilawah dan shaum sunnah."

Saudariku yang shalihah,
Berikutnya, lihatlah maisyahnya. Yang penting tetap bekerja, tak harus berpekerjaan tetap. Begitu kata para asatidz. Tapi ini smua adalah pilihan. Tak ada salahnya memastikan nominal penghasilan mereka dengan kebutuhan primermu. Sebab menafkahi adalah kewajiban suami. Bahkan, masak dan mencuci adalah kewajiban suami. Jika istri tetap mengerjakan hal itu, maka ia berhak untuk digaji. Begitulah para imam madzhab memfatwakan.

Selanjutnya, kita bicara kesiapan. Sebab menikah bukan soal kemauan. Tapi kesiapan dan tanggungjawab.


Maafkan aku jika harus menyinggung Leukimia-mu. Tapi suamimu kelak sebaiknya mengetahui itu sebelum akad terjadi (baca: ketika ta'aruf) sehingga dia benar2 sudah siap dengan kondisimu ketika nanti menyampaikan lafadz mengkhitbahmu. Ini urgen. Penting, Ukhti. Supaya tak ada yang merasa tertipu, kecewa, terbebani hingga akhirnya rumahtangga hanya dipenuhi dengan pertengkaran2 yang terjadi karena ketidaksiapan kita bersama. Untuk masalah ini, kulihat dari dulu Akhi Y betul-betul sudah serius, menaruh perhatian dan menunjukkan kesiapan. Itu tampilan luarnya. Wallahu a'lam aslinya. Sedangkan Akhi Z mungkin baru2 saja dia tahu soal ini.

Oya, mungkin perlu pula kau tanya keingian keluargamu: menantu seperti apa yang mereka mau?

Saudariku, maafkan aku jika terkesan mengguruimu. Padahal ilmuku dangkal, sementara pengalamanmu melampaui pengalamanku. Memang pendapatku ini masih mengambang. Sederhananya, berdasarkan sedikit informasi yang kuketahui tentang mereka, aku cenderung menganggap Akhi Y lebih baik. Tapi kau jangan mudah percaya pada penilaianku. Manfaatkanlah ta'aruf untuk memastikan. Silakan kau memilih satu di antara mereka jika itu baik bagimu. Namun hakmu pula untuk menolak keduanya. Doaku, semoga Allah pilihkan yang terbaik untukmu. Dan semoga kau bisa seoptimal mungkin mensyukuri kemewahan ini.


Wallahu a'lamu bish-showab.
Saudaramu yang jauh,
Anugrah Roby Syahputra

Demikianlah jawaban yang saya rangkai untuknya. Saya berdoa untuk kebaikan dirinya dan ikhwan-ikhwan itu. Sampai kemudian seminggu setelahnya, sang ukhti mengirim sms kembali:

"Assalamu'alaikum. Ya akhii Roby. Syukran ya, Akh atas masukannya kemarin. Ana sudah memutuskan untuk ta'aruf dengan salah satunya, berdasarkan istikharah ana juga. Tapi mungkin itu ta'aruf terakhir ana. Kalaupun ana ta'aruf lagi, mungkin waktunya akan sangat lama dari sekarang. Ikhwannya memang bisa menerima kondisi ana. Ortunya juga, Tapi ga tau kenapa tiba2 jadi ga setuju dan ga merihoi dengan berbagai alasan. Sekali lagi, jazakallah ya Akhi.."

Deg! Saya terdiam. Cuma bisa berdo'a. Tak tahu lagi harus membantu apa.

Di tengah kesunyian ruang kerja
Banda Aceh, 20 September 2011