Keep Move On 'coz if you don't CHANGE you'll DIE

Kamis, 25 Juli 2013

Sebab Pahitnya Sabar Pasti Berujung Manis

*engkau telaga…hingga semua derai kepahitan itu sempurna karam dihatimu…tak berbekas hanya wajahmu saja yang masih terbias gores keikhlasan..

*engkau api…tak membiarkan celah kecewa… meski setitik... meski sekilas... tak sempat engakau mengeluh… kau bakar semua dengan cinta...dan… engkau indah bersama Allah dihatimu

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Urip ne ndunyo iki piro suwe ne seh, nduk…? Lalu apa yang menghalangi kita untuk sedikit bersabar…” sebuah kalimat ajaib dari seorang wanita tangguh. Kalimat yang beliau sampaikan pada adik kandungnya saat mengadukan masalah-masalah yang dialaminya.

Ia sendiri, tak kurang-kurang “deritanya”. Berputra lima dengan suami yang berpenghasilan seadanya. Rutinitas kerja keras dimulai bahkan sebelum pagi. Menyiapkan keperluan harian anak. Memasak makanan ringan yang biasa dititipkan di kantin sekolah. Selanjutnya mendampingi sarapan bersama suami dan kelima putranya.Dengan sepeda motor sederhana dan ketiga putranya, beliau berangkat ke sekolah tempatnya mengamalkan ilmu yang dimilikinya mengajar tunas bangsa mengeja alif ba ta.

Kesibukannya tak berhenti sampai di situ saja. Saat pulang ke rumah tugas lainnya telah menanti, baju cucian yang menggunung, tempat tinggal yang menunggu dibereskan, dan berbagai macam jenis dagangan yang harus ditawarkan dan diantarkan pada pelanggan. Itu semua beliau lakukan sendiri, tiap hari. Tanpa pernah menuntut ”gaji tambahan” pada suami. Tanpa protes pada Allah, mengapa hidupnya begini. Sewajarnya jika beliau hidup bersimbah dengan keluh, namun ia memilih untuk bersabar.

“Saat Allah menguji, pasti Ia tahu bahwa saya ini mampu…” ucapnya sekali waktu saat ditanya mengapa beliau terlihat begitu tangguh. Dan tanpa waktu lama, Allah pun menunjukkan kuasa Nya. Beliau mulai dapat merasakan buah dari kesabarannya. Putra-putranya jadi anak yang istimewa. Putra yang pertama sangat terasa begitu cerdasnya, sedang putra yang kedua hampir tak bertepi sabar dan pengertian sebagaimana ibunya, putra ketiga juga serupa, begitupun dua putra yang lainnya juga tak berbeda. Benarlah perkataan seseorang yang mengenalnya “Lihatlah lewat putra-putra beliaulah, Allah mengangkat derajatnya…atas segala kesabarannya”. Tak terasa, berurai air mata saya ketika merenungi kisah hidupnya.

Sabar itu istimewa. Demikian salah seorang teman pernah melukiskannya dalam kata. Tapi begitulah, sejatinya. Betapa tidak, Allah selalu mengulang-ulang kata sabar dalam firman Nya. Ada yang menyebutkan kata sabar dapat ditemukan hampir di 90 ayat dalam Al Qur’an. Dan jika Al Qur’an telah menyebutkan perintah untuk bersabar, sudah bisa dipastikan ada hikmah dan kebaikan yang mendalam pada sifat yang satu ini.

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS.Az-Zumar: 10)

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl : 96)

Ujian hidup berupa derita dan musibah adalah keniscayaan bagi orang yang beriman.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al Ankabut : 2)

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu…” (QS. Muhammad : 31)

Saat derita dan musibah menyapa hidup. Sabar, sebaiknya yang jadi teman utama. Sebab ia yang akan membantu kita untuk lebih bisa menyelewati derita dan musibah dengan cara yang lebih anggun dan lebih santun.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah : 155)

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:” Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiuun “. (QS. Al Baqarah : 156)

“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al Baqarah : 157)

Dan sabar tak selalu diperlukan saat bertemu dengan derita dan musibah yang menyakitkan dan menyesakkan. Sabar juga diperlukan saat menghadapi maksiat. Sebab pada kondisi tertentu, bagi seseorang sabar melawan maksiat jauh lebih berat daripada melakukan ketaatan berupa shalat, puasa, infaq atau amalan lainnya. Sungguh mulia derajat orang yang dihadapkan pada kemaksiatan kemudian ia bisa bersabar. Sebagaimana sabarnya Nabi Yusuf saat melawan hawa nafsunya yang mulai goyah oleh godaan Zulaikha, yang apabila tidak dikuatkan oleh keimanan kepada Allah maka pastilah ia terjerumus dalam kemaksiatan.

Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 23-24)

Saat berhasil melompati godaan maksiat bisa dipastikan keimanan dalam dirinya akan semakin kuat. InsyaAllah.

Begitulah hakikat sabar, ia disediakan Allah sebagai penolong bagi orang-orang beriman. Dibebaskan bagi kita untuk memilih bersama Allah atau bersama selain Nya…

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk “. (QS. Al-Baqarah : 45)

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah : 153)

Dan… meski tak mudah. Tetap bersabarlah…!!!

“…bersabar itu slalu spesial…kau tidak tahu akan lama atau sebentar... tapi saat kau bersabar… itu sudah istimewa… karena... Allah bersama orang yg sabar...".
[Sarwo Widodo Arachnida]

*Untuk musahabah diri sendiri* [Kembang Pelangi]

Minggu, 21 Juli 2013

Masalahnya..."mereka" atau "kita"...??

“Jika ada masalah dalam kapal… ya bertahan ‘tuk membenahi adalah satu-satunya solusi…
jika kita turun dan berenang sendirian.. resiko tenggelam lebih besar”

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Saya resign… saya berhenti… kemarin saya meminta ijin pada pimpinan saya untuk “keluar” dari K**M*… organisasi tempat saya bernaung dalam aktivitas dakwah kampus !! ketik si Zahra di Inbox FB ketika itu. “ Lho…kenapa…? ” tanya Lekaki Hujan, salah satu teman terbaik di jalan Aqobah dengan penuh heran.

“Saya sudah ndak cocok… terlalu banyak hal yang berseberangan… terlalu banyak penurunan kualitas dan aktivitas yang terjadi… lama..lama siapa bisa tahan…?” terus saja jemari si Zahra mengetik… meluncurkan sejumlah alasan.

“Hmm…saya paham tapi, tetap saja jika ada masalah dalam kapal… ya bertahan untuk membenahi adalah satu-satunya solusi… jika kita turun dan berenang sendirian… resiko tenggelam lebih besar” demikian jawaban Lelaki Hujan. Dan pada akhirnya jawaban Lelaki Hujan mengubah sudut pandang dan menyadarkan si Zahra jika keputusannya tak bisa dibenarkan dan perlu dikaji ulang.

Begitulah… berorganisasi tak selamanya jalannya mulus tanpa hambatan. Menjadi bagian dari sebuah institusi, apalagi yang turut berpartisipasi dalam pusaran gelombang pergerakan dakwah bukan berarti tanpa resiko. Sebagaimana lumrahnya aktivitas apapun pasti ada resikonya. Terlebih aktivitas yang terbingkai dalam kerangka dakwah, bisa dipastikan kemungkinan resiko, tantangan dan hambatan yang ada akan lebih besar dan bervariasi. Dan diperlukan kesiapan psikologis, kesiapan ruhiah lebih tepatnya untuk menghadapinya. Sebab bukan tidak mungkin jika kita belum siap atau bahkan tidak siap menghadapi realitas jalan juang yang penuh riak gelombang akan memicu timbulnya berbagai “penyakit”, diantaranya kemalasan, kelemahan dan kelelahan mental, rasa putus asa atahu bahkan parahnya memilih insilakh (keluar) dari pusaran dakwah, Naudzubillah.

Kita sering mendengar… terlalu sering bahkan… bahwa memilih dan menempuh hidup di jalan dakwah adalah perjalanan paling mulia. Penulis spesialisasi tema tarbawi, Muhammad lili Nur Aulia mengibaratkan seorang aktivis dakwah ibarat seorang musafir di jalan Allah yang membawa misi dakwah ke manapun langkah kakinya berjalan. Ia laksana pembawa minyak wangi yang menebar aroma sedap dan indahnnya islam di sepanjang jalan yang dilaluinya. Beliau menambahkan, berada dalam arus pusaran dakwah adalah sebuah kesyukuran. Menjadi bagian dari dakwah adalah karunia Nya. Itu sebuah adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggaan. Allah telah mengistimewakan kita dengan memilih kita berada dalam dakwah. Ini adalah karunia terbaik sesudah iman. Karunia yang belum tentu bisa didapat karena nasab, harta dunia, dan strata sosial tertentu. Sejatinya itu adalah anugerah terindah jika Allah menuntun langkah kita berpijak menapaki jalan yang ditempuh para Nabi, yakni jalan dakwah.

Sebagaimana FirmanNya,

“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya…” (QS. Ali Imron : 103)

Ustadz Abu Ridho mengatakan jika untuk membangun kesiapan ruhiyah dalam mengarungi jalan dakwah tak cukup hanya dengan pemahaman yang baik. Selain pemahaman bahwa jalan dakwah tidak mudah penuh rintangan, harus ada aspek lain yang mengiringi yakni niat yang lurus ketika memutuskan untuk memulai langkah perjalanan dakwahnya. Niat bersih yang terbebas dari segala nafsu pribadi, materi dan segala kepentingan duniawi. Niat lurus yang melandasi segala aktivitas demi pahala dan ridho Allah semata. Itu yang akan memunculkan imunitas (kekebalan) yang tinggi sehingga seorang aktivis dakwah tak mudah terserang “penyakit” sebagaimana yang telah disebutkan tadi.

Sebagaimana kutipan di mukaddimah buku Komitmen Dai sejati karangan Muhammad Abduh:

Jika komitmen terhadap dakwah benar- benar tulus … maka tak akan banyak pejuang yang berguguran di tengah jalan. Dakwah akan terus melaju dengan tulus untuk meraih tujuan- tujuannya dan mampu memancangkan prinsip- prinsipnya dengan kokoh.

Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus… niscaya hati sekian banyak orang akan menjadi bersih, pikiran mereka akan bersatu,dan fenomena ingin menang sendiri saat berargumentasi akan jarang terjadi.

Jika komitmennya benar-benar tulus… maka hatinya akan lapang untuk memaafkan setiap kesalahan saudara seperjuangannya sehingga tidak tersisa tempat sekecil apapun untuk permusuhan dan dendam.

Jika komitmennya bena-benar tulus… maka sikap toleran akan semakin semarak, rasa saling mencintai akan semakin merebak, hubungan persaudaraan akan semakin kuat dan barisan pejuang dakwah akan menjadi bangunan yang berdiri kokoh dan saling menopang.

Maka saat aroma indikasi bakteri “penyakit” mulai datang menyerang. Selayaknya seorang pejuang dakwah bermuhasabah, introspeksi diri. Apakah sudah lurus niatnya saat melangkah ?. Apakah telah hadir “ketulusan ” yang benar dalam komitmen dakwahnya selama ini ?. Maka, Apabila masih terbesit keinginan untuk insilakh, keluar dari pusaran dakwah, ada perlunya jika kita patut curiga bisa jadi bukan “mereka” saudara –saudara seperjuangan kita yang salah dan perlu dibenahi. Bisa jadi, sejatinya diri kita pribadi yang perlu diterapi.

Sebagaimana kutipan yang di atas, hanya jika karena merasa benar sendiri dan tidak sesuai dengan lainnya kemudian kita memilih keluar “berjuang” sendirian. Bukan tidak mungkin, jarak “tujuan kemenangan” dakwah akan semakin jauh. Dan bisa-bisa kita terlebih dahulu “tenggelam” sebelum benar-benar sampai. Tetap bertahan dan berkontribusi untuk “membenahi” agaknya lebih layak untuk dipilih sebagai solusi. Maka, bertahan saja… karena sekali melangkah “keluar”, tak ada jaminan kita bisa kembali lagi.

“…terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus melakukan apa yang bisa dilakukan…” (Novel… Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah-----Tere Liye)

[Kembang Pelangi]

Kamis, 18 Juli 2013

Ketika Akhwat Terperangkap Sinyal Cinta


 


 “...rasa nyaman terkadang membuat orang berhenti meniti takdir terindah…”
[Sarwo Widodo Arachnida]

Akhwat itu susah Move On… itu kesimpulan instan yang saya dapatkan. Meski sejatinya tidak semuanya begitu. Miris memang, tapi itu kenyataan. Setidaknya itu yang saya temukan. Tak percaya…? Mungkin kisah ini bisa bisa jadi sebagian bukti.

Kisah Pertama

Terjadi saat pembinaan tarbawi yang sudah diakhiri, menghangat kembali akibat tema “Kapan Datangnya Belahan Hati”.

“Sudahlah…saya percaya…jodoh itu pasti datang…saat hati sudah ikhlas dan merelakan sosok dambaan yang tak bisa didapatkan…” cetus si mad’u yang ada di hadapannya tanpa beban sambil mengangkat ransel hendak melangkah pergi

“Astaghfirullah…berarti hingga detik ini anti belum ikhlas…?” Sang Murobbiyah tiba-tiba menyahut dengan nada tegas.

“He…he…he…” dengan lugu si Mad’u menjawab dengan tertawa basi.

Tanpa sadar ia duduk kembali, urung untuk melangkah pergi.

“Ck…ck…ck… istighfar ukhti…segera bersihkan hati…” suara Sang Murobbiyah merendah kembali

“Bisa jadi itu sebabnya… data anti selalu kembali…setiap kali ana berikhtiar untuk anti belakangan ini…” lanjut beliau dengan nada sedih.

“Sebaiknya jangan diteruskan seperti ini…anti menyakiti diri sendiri… anti menyakiti orang yang menyayangi anti… segera ditata kembali hatinya… ikhlaskan semuanya… semoga akan ada takdir indah yang mengiringinya ” tutur Sang Murobbiyah kembali menasehati.

Tanpa sadar air mata si Mad’u mulai meleleh…ia begitu dihinggapi rasa bersalah.

Kisah Kedua

“Ana ndak bisa mbak… apa yang harus ana lakukan…” ujar ukhti Solihah lewat sebuah pesan singkat di HP nya.

“Ana susah mengawali sesuatu… dan ketika sudah nyaman… ana takut mencoba yang baru… ibarat sebuah tempat… saya takut untuk melangkah pergi… jujur mbak “beliau” masih tersimpan rapi di hati” lanjut ukhti Solihah makin sendu.

“Ikhlaskan hati dhek… menikah itu tak cukup hanya dengan jatuh cinta… saat anti mampu berusaha bangun cinta… InsyaAllah akan lebih indah… terlebih lagi lebih berkah… Allah slalu punya pilihan yang terbaik” dengan berusaha sebijak mungkin “Mbak”nya memberi jawaban balasan.

Ini sudah sekian kali… sudah hampir proses ketiga yang ukhti Solihah jalani dan masalahnya masih sama. Ia merasa belum mampu “pindah” ke lain hati. Sedang “yang dinanti” merasa masih belum siap tanpa batas waktu yang pasti. Padahal pihak keluarga sudah tak sabar lagi. Dilema melanda, itu sudah pasti.
***

Begitulah akhwat… mereka sebagaimana wanita pada umumnya. Mereka terlalu “setia” dengan perasaanya. Sebuah artikel di dunia maya menyebutkan, pada dasarnya wanita adalah sosok yang sangat setia, kesetiaan mereka terkadang tidak dibalas setimpal oleh laki-laki, tentunya sangat menyakitkan bagi seorang wanita, tapi itulah wanita walau sering disakiti tapi mereka tetap berusaha mempertahankan hubungan dengan mengutamakan kesetiaan. Saat wanita mengalami “tragedi cinta” mereka kebanyakan membutuhkan “waktu berkabung” yang lebih lama. Seorang Konselor percintaan Dr. Rajan Bhonsle mengemukakan, hal itu bisa jadi benar dengan alasan wanita merupakan makhluk yang emosional.

"Bagi kebanyakan wanita, jatuh cinta adalah proses yang perlahan dan bertahap. Ketertarikan wanita kepada pria terbentuk dalam waktu yang lama seiring dia mulai mencintai, mengenali dan memahami lawan jenisnya. Dia memupuk perasaan cintanya, itulah sebabnya kegagalan percintaan atau perselingkuhan lebih menyakitkan bagi wanita," urai Dr. Raja

Sedangkan pakar yang lain mengemukakan hal yang sedikit berbeda, psikoterapis Dr. Reema Shah yang menyatakan bahwa urusan perasaan tidak bisa digeneralisasikan. Dr. Reema berargumen, perbedaan cara pria dan wanita dalam mengatasi masalah percintaan bukan karena gender, tapi lebih kepada kondisi sosial.

"Wanita bersikap demonstratif karena ada semacam persetujuan sosial yang 'membolehkan' mereka lebih terbuka secara emosional. Karena ekspresinya terlihat, orang jadi berpikir kalau wanita lebih sulit melupakan sakit hati," ujarnya.

Argumentasi kedua pakar tersebut makin mengamini jika realitas yang ada menunjukkan bahwa mayoritas wanita memang lebih memilih untuk berlama-lama dalam “derita” cintanya.

Maka teruntuk para kaum adam apapun sebutannya, mau yang ngakunya ikhwan atau bukan, sebaiknya tidak coba–coba mengetuk pintu hati wanita manapun dengan mengirimkan sinyal-sinyal cinta atau menanamkan benih cinta jika memang tidak dan belum sanggup membingkai cinta yang coba ditawarkannya dengan tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah pernikahan. Mencintai berati menikahi. Itu prinsipnya. Tegas dan jelas.

Islam tidak memungkiri naluri dan fitrah insani dalam hal kecondongan terhadap lawan jenis. Allah berfirman,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron : 14)

Dan jalan terbaik untuk mengelola naluri tersebut sudah ditunjukkan Allah pula dalam kitab-Nya.

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nuur : 32)

Namun apabila merasa belum sanggup memilih solusi yang Allah tunjukkan, Dia menunjukkan alternatif pilihan yang lain yakni,

"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya." (QS. An Nuur : 33)

Disebutkan pula di ayat yang lain,

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".(QS. An Nuur : 30)

Tak hanya kaum Adam, wanita pun dianjurkan melakukan hal yang sama.

Katakanlah kepada para wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) terlihat……. (QS. An Nuur : 31)

Pilihan-pilihan sudah disediakan. Maka, bila melanggar batasan yang ada Allah telah mengingatkan,

“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra : 32)

Aturan Islam sudah jelas. Pada akhirnya berpulang pada diri masing–masing pilihan mana yang hendak diambil. Tentu sebagai insan yang tercerahkan oleh cahaya iman, semua tentu paham adalah kurang ahsan jika tindakan yang dilakukan akan menimbulkan kesusahan pada saudara seiman. Nasehat ini terutama bagi kaum Adam, jangan sampai karena sikap “kurang bertanggung jawab”nya menyebabkan saudaranya “menderita” berkepanjangan. Sebaliknya pula bagi kaum wanita, tak patut pula kiranya jika berlama-lama dan merasa nyaman dengan “derita cinta” sebab bisa jadi takdir terindah yang telah Allah siapkan jadi tertunda karenanya. So try to Move On girls…...!!! [Kembang Pelangi]

Minggu, 14 Juli 2013

Menanam Kebaikan Menuai Cinta

“…tulislah kebaikan.. karena kebaikan adalah cahaya..
bahkan.. tulisanmu bisa menjadi kebaikan abadi.. yang terus menerangi.. meski engkau nanti di perut bumi…”

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Tulis 3 nama…” demikian instruksi beliau, Ust Adi Wisnugraha trainer TRUSTCO saat mengisi pelatihan singkat hari itu. Sebuah pelatihan untuk semua pengajar di sebuah yayasan sekolah terpadu di kota Gresik.

“Anggaplah kertas yang antum pegang adalah voucher pulsa gratis Rp. 50.000… tulislah 3 nama orang yang hadir di tempat ini yang menurut antum layak mendapatkannya“ lanjut beliau. “OK… sekarang dalam waktu 5 menit… temukan dan berikan kertas tersebut sesuai dengan nama yang telah antum tulis…” perintah beliau tiba-tiba. Dan berhamburanlah semua yang hadir di majelis itu untuk berburu 3 orang partner kerja yang dituju.

Waktu 5 menit pun telah berlalu. “Sekarang kita temukan siapa yang mendapat voucher terbanyak hari ini”. Subhanallah… wajah itu mengacungkan tangan penuh kertas dengan malu-malu. Wajah yang kami akrabi setiap hari kerja… sosok yang hampir selalu berusaha meringankan beban kami… sosok yang ringan tangan membantu siapa saja yang ia temui… wajah yang kami temui setiap kali pekan pembinaan tarbawi kami. Beliaulah murabbiyah kami. Beliaulah pemenang rekor voucher CINTA terbanyak hari itu.

“Itulah hakikat ihtiram… berbuat kebaikan… ia akan membekas dalam ingatan… ia akan melahirkan balasan kebaikan pula… dan pemenang rekor kita hari ini… selayaknya kita teladani… pasti ada sebab mengapa ia begitu dicintai…” tutup Sang trainer sebelum acara diakhiri.

Islam menekankan akhlaqul mahmudah bagi segenap muslim sebagai salah satu dari dua dimensi nilai yang wajib diwujudkan seorang muslim dalam hidupnya. Dua dimensi nilai itu aqidah atau keimanan yang benar dan akhlaq yang terpuji. Sebab akhlaq yang baik adalah buah dari aqidah yang benar. Keduanya mesti seiring sejalan. Setiap muslim punya kewajiban moral untuk mewujudkan citra baik Islam sebagi agama rahmatan lil alamin dengan berusaha menampakkan akhlaqul mahmudah saat berinteraksi dengan sesama manusia. Idealnya, tutur kata, sikap dan tingkah laku, cara berpakaian, cara bergaul, seorang muslim lebih baik daripada orang lain yang belum mengenal Islam. Begitupun dengan para da’i harus menampakkan akhlaq yang lebih indah dari orang pada umumnya yang menjadi obyek dakwahnya. Agar tidak semakin benar ungkapan yang menyebutkan “Al-Islam mahjubun bil muslimin” artinya bahwa Islam itu terhijab oleh (perilaku) kaum muslimin. Dan terwujudlah sabda Sang Nabi di bawah ini.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia“ (HR .Ahmad dan Baihaqi)

Salah satu wujud akhlaqul mahmudah yang wajib muncul dalam diri seorang muslim adalah ihtiram. Ihtiram artinya saling menghargai atau saling hormat menghormati kepada sesama manusia. Ihtiram menjadi hal yang sangat penting di tengah-tengah pergaulan antar sesama, lebih-lebih dalam tata pegaulan antar sesama muslim. Islam mengatur bagaimana ihtiram dalam pergaulan dengan kedua orang tua, kepada sesama secara umum dan khususnya terhadap tetangga serta tamu yang berkunjung ke rumah.

Ihtiram pada kedua orang tua, Allah memerintahkan.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak-mu dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23 ).

Sedangkan kepada sesama manusia secara umum Allah berfirman.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman : 18 ).

Dalam firman Nya jelas menyebutkan larangan untuk berlaku sombong. Sombong ditandai dengan dua variabel yakni bathrul haq (menolak kebenaran) dan ghantun nas (menghina manusia). Banyak fakta menunjukkan jika kedzaliman dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi seseorang besumber pada rasa angkuh, tidak menghormati orang lain. Maka, jika seorang muslim mengabaikan sikap ihtiram terhadap sesama manusia itu bisa berakibat fatal sebagaimana Rasulullah sampaikan dalam sabdanya.

“Barang siapa yang tidak belas kasihan kepada yang lebih kecil dan tidak menghargai kehormatan yang lebih tua maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Bukhari dari Ibnu Umar ra).

Maka sudah bisa dipastikan kesombongan, angkuh, tidak sayang kepada yang kecil (lemah) dan tidak menghargai kehormatan yang lebih tua (besar), bukan watak orang-orang beriman.

Dan pemenang voucher Cinta saat pelatihan hari itu membuktikan jika kebaikan-kebaikan yang beliau lakukan selama ini pada hampir semua partner kerja tak hilang begitu saja. Akhlaq ihtiram yang beliau amalkan melahirkan cinta. Akhlaq ihtiram yang beliau lakukan menempatkan beliau menjadi sosok yang istimewa di hati setiap orang yang pernah melihat dan merasakan setiap kebaikan beliau. Dan tepatlah strategi sang trainer bagi kami, tak perlu banyak kata dan materi… cukup berikan bukti. Barang siapa yang berlaku penuh cinta… maka ia pun akan menuai cinta… sekalipun tanpa pernah ia meminta. Ketulusan akan berbuah ketulusan. Kebaikan akan berbalas kebaikan. Maka berlombalah… mengukir kebaikan.

“…dan betapa kebaikan itu seperti hujan
dia menetes dan menumbuhkan… namun tidak berhenti.. kebaikan mengalir dari hati ke hati lagi.. menyejukan setiap jiwa.. bahkan hanya dengan mendengarnya.. terus meretas.. melembutkan semua yang dilewatinya.. Lalu… Indah menatap kau melakukannya…”

[ Sarwo Widodo Arachnida]

Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Senin, 08 Juli 2013

Partai Dakwah Telah Berubah?

Suksesnya dakwah tak hanya sekedar diukur dari banyaknya suara… tetapi terukur dari sampainya warna-warna islami pada hati yang gersang dan penuh rindu pada indahnya Islam
[Sarwo Widodo Arachnida]

“Aaaaah sudahlah… coret saja… sepertinya kurang relevan dan strategis agenda itu… ndak perlu lagi sering-sering kita menggelar baksos… toh nyatanya itu tak cukup mendongkrak perolehan suara partai dan caleg yang kita perjuangkan…” ujar suara sumbang dari ujung meja rapat koordinasi pemenangan sebuah partai. Sedangkan para kader sejati yang hampir memadati ruang tempat musyawarah tadi hanya bisa bergumam dalam hati “sejauh yang kami pahami… bukan sekedar demi suara dalam pemilu nanti… segala usaha dan perjuangan kami selama ini… tapi juga tanggung jawab dan kewajiban kami terhadap umat ini… hingga kami bisa berdiri gagah berani dan tak malu lagi saat berjumpa dengan Rabbi… Tuhan kami”.

Cerita tadi hanya fiksi. Luapan berlebihan dari saya atas fenomena yang terkadang saya jumpai sesekali. Tak banyak memang, tapi cukup mengesalkan dan disayangkan jika ada pemikiran “liar” tersebut dalam benak para pejuang yang mengaku kader sebuah partai dakwah. Semoga tak banyak… bahkan kalau bisa benar-benar tak ada secuil pun komponen dalam gerbong partai pengusung kepentingan umat yang model begitu.

Tidak. Tidak ada yang berubah dari ashalah partai dakwah. Sejauh yang diketahui, insya Allah manhaj kita masih sama. Kehadiran dalam liqoat tarbawi juga masih tetap dianggap sebuah kewajiban. Kualitas dan kuantitas tilawah, qiyamul lail, dzikir pagi-petang, puasa sunnah dan amalan yauimiyah lainnya tetap diperhitungkan. Ghiroh kegiatan hafalan Al Qur’an dan hadits juga malah makin digalakkan. Keutamaan bina ukhuwah dan jaga ruhiyah juga masih diajarkan dan dianjurkan. Kajian dan taklim pembinaan umat juga tidak dilupakan. Perkembangan di Gaza, Mesir, Rohingya dan Suriah serta belahan dunia lainnya tak juga luput diperhatikan dengan berbagai jenis munasharah, doa, diplomasi kenegaraan dan pengiriman bantuan.

Saya yakin, partai dakwah ini belum berubah. Partai Dakwah ini tidak boleh berubah. Apapun cibiran orang, lawan saja dengan segenap pembuktian. Partai dakwah masih setia mengawal dan mengusung kepentingan umat. Buktikan jika semua aktif bekerja…semua aktif berjuang. Mulai dari pengurus ranting yang rendahan sampai yang sudah duduk di kursi anggota dewan. Mulai dari yang kuli hingga menteri. Saat kebakaran, banjir dan becana alam datang usahakan datang mengulurkan bantuan. Peredaran narkoba, miras dan maksiat terus dilawan. Jika semua itu terlampau susah dan berat, setidaknya saat berjumpa tetangga berikan salam, senyum dan sapa yang menyenangkan. Ketika mereka kesulitan, berikan pertolongan. Buktikan saja, bahwa negeri ini masih belum kehilangan harapan.

Dalam bukunya, Herry Nurdi mengatakan, semua usaha dan perjuangan yang dilakukan hanya punya satu ukuran. Untung rugi yang didapatkan harus diukur, apakah sama untung rugi yang didapatkan oleh Islam. Bukan atas pertimbangan untung rugi politik, diplomatik maupun sekedar strategik. Karena apa yang dianggap untung oleh kacamata strategi dan politik, belum tentu simetris dalam arti ideologik. Maka beliau pun berpesan, pejuang sejati tak pernah mencuri kemenangan untuk dirinya sendiri. Bahkan mereka tak pernah berpikir untuk ikut menikmati hasil perjuangan yang dilakukannya.

Negeri ini telah terlalu lama dirusak… hingga butuh waktu yang tidak instan untuk memperbaikinya... sekarang belum masanya menikmati hasil perjuangan. Jangan turut menjadi satu lagi golongan yang merusak negeri yang Allah titipkan.

Prinsipnya sederhana saja sebagaimana disebutkan dalam FirmanNya.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

“bekerja saja… berjuang saja... Allah tidak pernah lupa… Allah tidak mungkin salah... Dia Maha Tahu, siapa melakukan apa…dan pasti akan membalasnya..."
[The Secret of Heaven --- Herry Nurdi]

Wallahu a'lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Apa Artinya Ilmu Tanpa Amal

There is difference between KNOWING the path and WALKING the path
[Morpheus – The Matrix Revolution]

Berbeda. Jelas berbeda. Kutipan di atas saya dapati saat menekuri lembar pertama buku The Secret of Heaven karangan ustadz Herry Nurdi. Buku yang cerdas dan menggerakkan, begitu ujar Helvy Tiana Rosa dalam endorsementnya. Benarlah… serasa mendapat tamparan penyadaran saat membaca tiap lembarnya. Dan menggerakkan jemari ini untuk berbagi ide cerdas beliau.

Ada perbedaan antara orang yang hanya sekedar tahu sebuah “jalan” dengan orang yang sepenuh perjuangan menapaki “jalan” tersebut. Ternyata… mengetahui saja tidak cukup tapi jauh lebih baik jika merealisasikan apa yang kita tahu. Kita tahu shalat sunnah sebelum Shubuh itu fadhilahnya lebih utama dari pada dunia dan seisinya. Tapi lebih utama lagi jika kita istiqomah mengamalkannya. Kita sering mendengar shalat berjamaah itu lebih tinggi derajat dan pahalanya dari shalat sendirian. Tapi akan lebih indah lagi jika langkah tergesa kita ke masjid demi mengejar shalat jamaah yang lebih sering terdengar. Kita tahu jalan dakwah itu kewajiban yang indah. Tapi lebih berkah jika kita turut bergerak di dalamnya. Itulah kelemahan kita, sering berilmu tapi belum maksimal dalam beramal.

Dalam bukunya, ustadz Herry Nurdi menyebutkan, di dunia ini tak sedikit orang yang berpengetahuan. Namun, apakah dunia jadi lebih baik hanya dengan itu. Dunia akan berubah ketika mereka melakukan sesuatu yang baik berdasarkan pengetahuan yang mereka punya. Sebagaimana Hasan Al Banna pun pernah mengatakan hal yang serupa. “Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia. Hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dan dari sedikit yang sadar itu, hanya sedikit yang ber-Islam. Dari mereka yang ber-Islam jauh lebih sedikit lagi yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah, jauh lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang, jauh sedikit lagi yang mau bersabar. Dan dari sedikit yang bersabar itu, hanya sedikit saja yang sampai pada akhir perjalanan ”.

Kita tentu tak asing lagi dengan firman Nya berikut ini
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104)

Allah sudah menyebutkan akan termasuk golongan yang beruntung bagi orang- orang yang menyeru dan berdakwah di jalan Nya. Kita tahu Allah Maha Benar, janji-Nya adalah sebuah kepastian. Jika Allah katakan beruntung, pasti akan beruntung. Tapi tidak semua dari kita mau dan sudah bergabung menjadi bagian dari barisan orang–orang beruntung sebagaimana yang disebutkan-Nya tersebut. Jika masih ada yang ragu–ragu untuk merealisasikan niat baiknya untuk bergabung dalam dakwah, Allah memiliki ayat yang lain untuk makin memantapkan hati.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110)

Menjadi bagian dari dakwah tentulah bukan hal yang mudah. Ujian, cobaan, cacian, hinaan, dan godaan untuk tidak istiqomah datang sepanjang waktu. Menguji hampir setiap hari dan setiap kali. Rasa takut pasti pernah mereka alami. Maka bagi orang–orang beruntung yang telah memilih menjadi bagian dari dakwah, meraka punya senjata ampuh untuk meneguhkan hati dan membangkitkan kembali semangat mereka. Motivasi dari Rabb-nya tercinta.

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman ” (QS. Ali Imron 139)

Berbahagialah bagi jiwa-jiwa yang telah memilih menafkahkan diri, harta dan jiwanya pada dakwah demi tegaknya kembali Izzah Islam wal muslimin. Apapun harakahnya apapun manhajnya dengan Al Qur’an dan Sunnah landasan bergeraknya. Bagi merekalah kemenangan yang agung.

"(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam syurga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman." (QS As Shaff 11-13)

Saat tulisan ini selesai terbaca, tentulah kita telah menjadi tahu. Tapi apakah selanjutnya, kita akan menjadi mau…?. Terserah padamu…

Ini Negara Bebas…setiap orang berhak untuk membuat pilihan.
[Alangkah Lucunya Negeri Ini---The Movie]

Wallahu a'lam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Minggu, 07 Juli 2013

2 Kunci Qaulan Tsaqila


Seperti biasa, izinkan saya berkisah

Kisah I
“Tak sedikit kaum muslim yang tahu jika pahala sholat 2 rakaat sebelum sholat Subuh itu lebih utama dari dunia dan seisinya… tapi, coba lihat berapa banyak yang sanggup untuk istiqomah dalam mengerjakannya. Ini masalah mendasar. Ini masalah Tauhid. Berilmu tapi belum maksimal beramal ” ujar seorang Ustadz saat mengisi acara Leadership yang kami adakan hampir setahun yang lalu. Dan setelah itu hampir belum sekalipun kami bertemu beliau kembali. Namun, nasihat itu terngiang hampir setiap kali seorang akhwat menggelar sajadah bersiap untuk sholat Subuh. Nasihat itu pula yang selalu “membantu” menggerakkan hatinya jika agak malas menunaikan sholat sunnah Fajar.

Kisah II
“3 Keutamaan Membaca Surat Al Kahfi di Hari Jum’at ” itu judul artikelnya. Begitu setia, sang Ustadz posting itu setiap pekannya. Hampir setiap kamis petang atau juga terkadang saat hari Jum’at datang menjelang sudah pasti artikel itu beliau pajang di blog yang dikelolanya. Sekali waktu si Zahra cuek saja membacanya. Alih- alih tambahan ilmu yang belum dia tahu. Sepekan dua pekan artikel itu selalu muncul setiap menjelang hari Jum’at. Entah pada hari jum’at pekan yang ke berapa, seperti ada “motivasi” yang tanpa sadar menuntun si Zahra mengambil mushaf. Bibirnya mulai melantunkan surat Al Kahfi ayat demi ayat… tanpa terasa hingga ayat yang terakhir. Dan pada pekan berikutnya si Zahra mulai terbiasa. Membaca surat Al Kahfi saat Jum’at datang menjelang sebagai mana tuntunan sunnah. Semoga si Zahra istiqomah.

Qoulan tsaqiila. Perkataan yang berat. Perkataan yang mampu menggerakkan pendengarnya. Nasihat lisan atau pun tertulis yang mampu menggerakkan audiencenya untuk melakukan kebaikan. Terlebih lagi jika dilakukan secara istiqomah. Tak terbayang… berapa pahala jariyah yang bakal mengalir. Itu yang berusaha saya tangkap dari dua kisah di atas.

Qoulan tsaqiila. Perkataan yang berat. Sebuah anugerah dari Allah yang tak serta merta didapat. Sebuah anugrah yang akan diberikan dengan beberapa syarat. Syaratnya sudah secara gamblang Allah sebutkan dalam FirmanNya

bangunlah (untuk shalat) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.

[QS. Al Muzammil 2-5]

Jika boleh dikatakan Qoulan tsaqiila berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an yang kita lakukan setiap harinya. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh ustadz Farid Dhofir suatu ketika, saat orang tua merasa kesulitan menasehati anak nya… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah al Qur’an-nya. Saat para ustadz-ustadzah merasa kurang didengarkan nasehatnya oleh anak didiknya… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an nya. Saat seorang murobbi merasa perkataanya kurang menggetarkan para mad’u… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an nya. Barangkali, ada yang “kurang” dalam bab qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an nya.

Dan saya berhuznudzon saja kedua ustadz tersebut menjadi contoh nyata. Amalan yaumiyah berupa qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an akan ada atsarnya. Akan ada bekasnya… ada buahnya yakni qoulan tsaqiila. Lisan maupun tertulis. Bagaimana sebuah kebaikan jika disampaikan dengan baik, maka akan melahirkan kebaikan pula.

Dan akhir kata, betapa saya berkeinginan meneladani keduanya. Maka jika tulisan ini belum mampu menggetarkan… berlakulah kaidah yang sama… coba periksa dan teliti qiyamul lail dan tilawah Al Qur’an penulisnya. :]

Resonansi Cinta Ibu

“Ana heran” ucap si sahabat tiba- tiba, kala Gadis bercerita tentang kisah cintanya. “Ana bertanya-tanya apa yang membuat anti jatuh hati dengan lelaki itu…? Sebab sejauh yang ana tahu tak banyak kriteria impian anti yang melekat pada lelaki itu.. ” lanjut si sahabat lebih jauh.
“Ibunya…” jawab Gadis tanpa ragu. “Sosok penyayang itulah yang membuatku jatuh hati pada anaknya… sebab aku ingin merasakan kasih yang sama dari beliau…” lanjut Gadis mengurai harapan.

Ibu. Sosok yang hampir selalu dilukiskan indah oleh sejarah. Tak terhitung banyaknya kisah yang menceritakan tentang istimewanya seorang ibu. Sosok ibu sering digambarkan sebagai pecinta sejati. Cintanya abadi sepanjang waktu. Sejak sang anak belum berbentuk dan terlihat rupa wajahnya, ibu sudah menyambutnya dengan bahagia. Beliau mengelus mesra perutnya dan mengajak si bayi bercengkrama. Begitupun saat si kecil terlahir ke dunia beliau merawat dan membesarkan dengan penuh cinta. Menggendong si anak berjam-jam, sering terbangun di tengah malam, dan mata yang jarang bisa terpejam saat si kecil rewel dan sakit adalah rutinitas yang hampir semua ibu pernah mengalaminya.

Begitu waktu berlalu. Si kecil pun tumbuh dan beranjak dewasa. Dan cinta ibu tetap tak berubah. Beliau masih memiliki kasih yang melimpah. Saat buah hati dirundung masalah bisa jadi beliau tempat curhat yang pertama. Tak pandang apapun masalahnya. Masalah kuliah, ketidaknyamanan di tempat kerja atau pun yang lainnya. Bahkan mungkin saat sang anak mulai merasa menemukan jodohnya. Beliau seringkali menghadirkan solusi di sela-sela nasihat bijaknya. Tak jarang dalam bentuk omelan panjangnya atau unwanted-phonecall saat sang anak tak kunjung pulang sedang hari sudah menjelang malam, itu semua gambaran kasih sayang beliau. Yang mungkin tak selalu berbalas tanggapan yang sama indahnya dari sang anak. Tak sedikit anak yang menganggapnya “ gangguan “. Tapi percayalah… suatu saat itu akan jadi gangguan yang begitu dirindukan.

Atas semua jasa dan limpahan cintanya, benarlah jika Sang Nabi mengajarkan pada kita, bahwa beliaulah seutama-utama wanita yang mesti kita dahulukan urusannya.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita?” Jawab Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam “Suaminya.”
”Siapa pula berhak terhadap lelaki?” Jawab Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, “Ibunya.”

Begitupun dalam Riwayat yang lain dikisahkan

Abu Hurairah radhiallahu 'anh berkata: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik-baiknya?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ayahmu.” (Shahih Bukhari – hadis no: 5971)

Begitupun Allah memerintahkan dalam Firman Nya

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.“ (QS. Luqman: 14)

Beruntunglah jika sampai saat ini masih bisa merasakan hangat kasih sayang seorang ibu. Beruntunglah jika masih mendapati omelan-omelan cinta saat terlambat pulang, terlambat makan, atau terlambat bangun di waktu Subuh. Sekali lagi percayalah… itu sebuah keberuntungan. Sebab tak semua anak seberuntung itu. Sebab tak sedikit anak yang merindukan omelan-omelan dan gangguan- gangguan itu. Bisa jadi banyak sebabnya. Tak ber-Ibu semenjak kecil atau terpisah dari ibu dikarenakan musibah, perceraian, adopsi atau bahkan sebab terenggut maut. Bagi anak- anak dengan kondisi seperti itu omelan cinta dan gangguan itu adalah hadiah yang begitu ditunggu dan dirindu.

Maka syukur Alhamdulillah jika saat ini Allah masih menganugrahkan pada kita waktu bersama beliau. Nikmati waktu yang ada dengan benar- benar berbakti dan berbuat baik pada beliau. Sebuah kesempatan berbuah syurga jika bisa merawat dan mendampingi beliau dengan penuh kesabaran hingga akhir hayatnya. Sebab, bisa jadi “ keindahan jiwa” beliaulah yang telah mengundang dan menerbitkan cinta seseorang yang “akan” atau yang “telah” menjadi pasangan hidup kita. Sebagaimana kisah Gadis di atas… itu fakta bukan fiksi. Beruntunglah… yang masih merasakan cinta Ibu… hingga kini. Berbahagialah… dan berbaktilah…[Kembang Pelangi]

*) Dan aku pun beruntung memilikinya… dengan bangga kusebut ia Murabbiyahku… dan… itulah… Ibuku