Keep Move On 'coz if you don't CHANGE you'll DIE

Selasa, 25 November 2014

Menjaga Nafas Panjang Dakwah

Ada banyak peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati hanya dengan memejamkan mata…bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada
[Muhammad Nursani]
“Ga usah datang syuro… ga usah ketemu dulu hari ini dhek…kalau memang begitu…” ujar kakak di penghujung cerita.
“Hmmm…begitu yaa…?” sahut adhek dengan nada mempertimbangkan.
“Sebenarnya ndak pingin seperti ini kak… tapi… hati ini rasanya masih nyeri… belum benar-benar sembuh… kak… ”guyonan beliau” menyakitkan… saya belum bisa terima… padahal selama ini beliau orang yang saya sayangi dan saya hormati…” lanjut adhek menjelaskan alasan.
“Jangan lama-lama… rugi sendiri kan kalau “seret “ ritme dakwahnya hanya karena “banyolan” yang begituan… dhek… ingat… Rasulullah cuma kasih injury time maksimal 3 hari… kakak rasa ade sudah paham itu…” dengan bijak kakak memberi saran.
“Ya…kakak benar…” Adhek sepakat
“Ok deh adhek ku ini emang pinter…tapi lebih sip lagi kalau buku tazkiyatun nafs yang lebih sering dibaca…biar ndak mudah keruh kalbunya… jangan baca novel mulu biar ndak gampang galau…hehehe…” nasehat si kakak berbalut canda.
“He…he…he…Ok boss…” sahut adhek sambil tertawa.

Benarlah yang disampaikan Syaikh Musthafa Masyhur jika dalam dakwah, seorang pejuang Islam wajib mempunyai salah satu sifat “nafasun thawiil” yakni nafas yang panjang. Sebab jalan dakwah yang panjang dan terjal tak mungkin dilalui oleh orang- orang yang ber”nafas pendek”. Yang mudah goyah dan kurang sabar. Orang yang sedikit terkena hempasan “angin ujian” sudah membuatnya menghentikan langkah dan menjadikan hempasan itu sebagai alasan untuk menghentikan langkah. Padahal kita sangat mengerti bahwa di jalan aqobah ini ada bekal yang mesti kita siapkan jika benar-benar ingin selamat sampai tujuan, yakni sikap lapang dada, nafas panjang dan mudah memaafkan.

Angin ujian dan badai konflik adalah sebuah keniscayaan di jalan ini. Dan datangnya tak hanya dari orang-orang di luar wajihah dakwah kita. Yang biasanya begitu peduli dan perhatian pada kita, dengan cara begitu rutin mengkritisi setiap tutur kata, prilaku dan pilihan keputusan yang kita ambil. Baik secara pribadi maupun secara haraki. Kritikan pedas, celaan dan makian kasar serta penolakan mereka biasa kita terima. Resiko sebuah perjuangan, demikian kita sering menamainya untuk membesarkan hati, memadamkan dendam.

Namun, tak jarang sumber konflik itu justru adalah kawan seiring, sahabat dekat, leader yang kita hormati yang di jalan ini kita sebut sebagai saudara, saudara seiman lebih tepatnya. Sebab di jalan ini kita disadarkan jika ikatan aqidah bisa jadi lebih kental dari ikatan darah. Demikian Rasulullah dan para sahabatnya memberi teladan. Bentuknya bisa berupa banyolan-banyolan yang tak bisa dibilang lucu dan bikin geli, perbedaan pandangan dan argumentasi, kata-kata nasehat yang tak sengaja menyakiti, kritik saran yang sejatinya bentuk kasih sayang atau bahkan keputusan rapat yang sudah sesuai kaidah syar’i tapi kadang kurang kita sukai. Semua itu bisa menjadi benih luka yang menjadikan cerahnya wajah kita berubah, indahnya senyuman jadi musnah dan bukan tidak mungkin menghadirkan amarah.

Banyak kisah para shalafus shalih yang mengajarkan kita untuk lebih mudah berlapang dada. Ketenangan hati mereka tak mudah terusik oleh persoalan hidup yang tengah mereka hadapi apalagi terusik dan tergadai oleh hal-hal remeh. Bisa jadi memang mereka berduka, kecewa atau bahkan tersulut api kemarahannya akibat suatu perkara. Tapi mereka berhasil menguasai kembali hatinya dan kembali menatap ke depan dan melangkah dengan mantap.

Salah satu kisah tentang lapang dada yaitu Ibrahim An Nakhi’i, suatu ketika melakukan perjalanan dengan salah seorang temannya yang buta. Di sepanjang perjalanan tak sekali dua kali orang-orang menghina dan meremehkan keduanya. Hingga si teman perjalanannya yang buta itu mengeluhkan hal tersebut, “wahai Ibrahim… coba tengok mereka… orang-orang itu mengatakan… itu orang buta dan itu orang pincang… itu orang buta dan itu orang pincang…” Dan Ibrahim berkata dengan tenang lalu mengatakan, “Kenapa kita harus terbebani memikirkan hal tersebut… jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala karena bersabar atasnya… lalu kenapa…?”

Ada pula kisah lain tentang mudahnya memaafkan dari Rabi’ bin Khaitsam, saat kudanya dicuri dan Fudhail bin Iyadh malah memberinya uang 20 ribu dinar. Sekaligus memberi nasehat, “doakan orang yang telah mencuri kudamu itu ”. lalu Rabi’ mendoakan pencuri itu “ Ya Allah jika ia orang kaya maka ampunilah dosanya, dan jika ia orang miskin maka jadikanlah ia orang kaya…”
Betapa mulianya ia yang punya kesempatan meratapi duka dan mengutuk si pembuat luka namun ia ganti dengan doa yang menyejukkan jiwa.

Jika kita teliti, kedua kisah di atas memberi teladan bagi kita bahwa kita akan terkesan menjadi orang yang paling menderita di dunia jika kita tidak mudah bersabar, sulit memaafkan dan sukar berlapang dada. Mengutip tulisan ust. Muhammad Nursani bahwa sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang remeh. Penderitaan yang paling berbahaya adalah tujuan hidup kita yang demikian agung, Dakwah ilallah terbentur dengan kondisi hidup yang sebenarnya sepele. Masalah sederhana jika kita melihatnya secara keliru kemudian memicu sempitnya dada, nafas tersengal, wajah tertekuk, amarah menggemuruh, air mata yang menitik dan yang lebih berbahaya melahirkan dendam.

Maka alangkah ruginya, sebab bisa jadi jiwa kita lebih disibukkan oleh perkara-perkara sederhana. Perkara yang remeh temeh. Dan selanjutnya, tentu saja akan makin sedikit amal-amal besar yang bisa kita lakukan. Sebab amalan-amalan besar hanya muncul dari jiwa yang tenang , hati yang lapang penuh keridhoan. Semua aral yang melintang, tak ubahnya kerikil jika kita paham ke mana arah kita melangkah. Sebab kita sedang berjalan menuju Allah.

Semua itu tak akan sia-sia. Sebab balasan Allah lebih indah, Sebagaimana dalam Firman Nya.
“…..dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.An Nuur 24:22)

Benar pula kutipan bijak dari saudara seiman berikut ini.
jika sesuatu ditujukan hanya kepada Allah…artinya selesai..
dan jika harapan diserahkan hanya pada Allah… kau boleh tersenyum sekarang…
[Sarwo Widodo Arachnida]

Senin, 13 Januari 2014

Mencium Pipi Suami Saat Setan Menangis


Mmmmuuuuuaaach… tiba-tiba sebuah ciuman mesra mendarat tepat di pipi. Yang punya pipi tentu saja reflek terkejut. Tangan kirinya terangkat mengelus pipi bekas ciuman tadi sambil mengerutkan alis mempertanyakan alasan. Padahal belum sampai sepuluh detik dirinya bangkit dari sujud. Mushaf Al Qur’an masih terpegang erat di tangannya yang sebelah, khawatir meluncur bebas. Jatuh.

"Hadiah dariku, he he he," sahut perempuan muda itu dengan gaya sedikit centil.
"Hadiah apaan?" tanya si lelaki penasaran.
"Ada deeeeh..." jawab perempuan muda itu dengan senyum tertahan.

Si lelaki tanpa pikir panjang tetap melanjutkan bacaan tilawahnya kala itu. Sambil duduk bersila di samping si lelaki, perempuan muda itu turut menikmati lantunan kalam Illahi yang sedang suaminya baca.

Itu sujud tilawahnya yang kesekian kali, sejak hari pertama dia sah menjadi imamnya. Ya... keduanya adalah pasangan suami istri, belum genap lima hari keduanya menikah. Sedang indah-indahnya. Saat pertama kali melihat suaminya melakukan sujud tilawah, dia cuma bisa terpana. Kagum.

Bukan tidak pernah, dia mendengar amalan “sujud special” itu tapi baru kali ini perempuan muda itu melihat orang dekatnya melakukan amalan tersebut. Dosen di kampusnya pernah menjelaskan mengenai hal itu. Guru agamanya sewaktu SMA juga pernah menyampaikannya.

Namun, perempuan muda itu belum pernah melihat ayahnya, saudara-saudaranya, gurunya, dosen kuliahnya, teman-teman di rumah kost yang ia tinggali, atau teman-teman taklimnya yang dengan spontan dan istiqomah melakukan sujud tilawah ketika mereka tilawah Al Qur’an. Kapanpun dan di mana pun. Padahal tak sedikit yang memiliki latar belakang “pendidikan agama” yang lebih. Tentu saja baginya, amalan yang dilakukan suaminya yang notabene background agamanya “otodidak” adalah sesuatu yang istimewa. Berilmu sedikit kemudian langsung beramal.

Dan sejak itu, si perempuan muda berjanji memberi hadiah “satu kecupan mesra bagi sang suami tiap kali dia melakukan sujud tilawah”. Terlalu genit…? Yaaach tak apalah… sudah halal ini… hihihi

Eiiits… Tapi bukan soal kemesraan mereka berdua yang akan dibahas kali ini. Tapi soal salah satu pemicu kemesraan mereka yakni sujud tilawah. Sebagai seorang muslim tentu kita perlu tahu atau sekedar mengingat kembali bagaimanakah sejatinya sujud tilawah dan bagaimana hukumnya. Berikut ini sedikit penjelasan yang berhasil dihimpun penulis dari berbagai sumber.

Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan sebab membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat di Al Qur’anul Karim.

Pada mushaf yang kita miliki, biasanya sudah ada penanda pada ayat-ayat Al Qur’an yang termasuk aya-ayat sajadah. Tanda tersebut dapat berupa lambang berbentuk kubah atau bentuk simbol lain di akhir ayat.

Saat kita membaca atau mendengar ayat-ayat tersebut dibacakan kita disunnahkan melakukan sujud tilawah. Ada hadits yang menjelaskan mengenai keutamaan amalan sujud tilawah ini yaitu,

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.”
(HR. Muslim no. 81)

Sedangkan lafadz yang dibaca saat melakukan sujud tilawah sama seperti yang dibaca ketika sujud dalam sholat fardhu. Ada beberapa pilihan bacaan yang bisa dipakai, diantaranya :

Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa”. Artinya: Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi. (HR. Muslim no. 772).

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” Artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku. (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).

Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.”. Artinya: Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta. (HR. Muslim no. 771).

Dan berikut ini ayat-ayat dalam Al Qur’an yang termasuk ayat- ayat sajadah, antara lain :
1. Surat Al A’rof ayat 206
2. Surat Ar Ro’du ayat 15
3. Surat An Nahl ayat 49-50
4. Surat Al Isro’ ayat 107-109
5. Surat Maryam ayat 58
6. Surat Al Hajj ayat 18
7. Surat Al Furqon ayat 60
8. Surat An Naml ayat 25-26
9. Surat As Sajdah ayat 15
10. Surat Fushilat ayat 38
11. Surat Shaad ayat 24
12. Surat An Najm ayat 62
13. Surat Al Insyiqaq ayat 20-21
14. Surat Al ‘Alaq ayat 19
15. Surat Al-Hajj ayat 77

Dari daftar ayat-ayat yang tersebut di atas, para ulama berselisih pendapat apakah surat Shaad ayat 24, surat An Najm ayat 62, surat Al Insyiqaq ayat 20-21, surat Al ‘Alaq ayat 19, dan surat Al-Hajj ayat 77 termasuk ayat sajadah atau bukan.

Sedangkan mengenai hukum sujud tilawah ini, di antara para ulama ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat wajib ada yang berpendapat sunnah.

Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,


فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ
“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).

Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.

Sedangkan dalil yang menjadi hujjah jika sujud tilawah tidak wajib (sunnah) adalah hadist berikut ini,

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,

قَرَأْتُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ( وَالنَّجْمِ ) فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhir kata, yang dikemukakan di atas adalah sekedar referensi. Tambahan ilmu saja. Adalah pilihan kita, cukup menyimpannya saja di kepala kemudian terlupa ataukah memilih menyempurnakannya menjadi tambahan amal pahala. It’s all up to you.

Tapi… semoga sujud tilawahnya bukan karena hadiah bonusan tadi ya… #Uuuups…!!! [Kembang Pelangi]