Tidakkah engkau curiga bahwa engkaulah yang dikirim Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka
Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu
Sebab sinar mu lah yang mereka nantikan itu
Maka, berkilaulah
[Salim A Fillah, Dalam Dekapam Ukhuwah]
“Anti boleh berhenti… sejenak ” kata saya pagi itu. “Tak hanya anti yang pernah merasa perlu berhenti… saya sendiri mungkin lebih dari sekali… berulang –ulang… tapi ternyata memilih berhenti terkadang juga tak mudah… dan atas rahmat dan kasih sayang Allah… saya masih di sini…” lanjut saya kemudian. “Kadang berhibernasi itu perlu kok… tapi jangan lupa kembali lagi ya…!” sambung teman yang lain menguatkan.
Ya begitulah… adalah sesuatu yang lumrah jika ada kejenuhan pada kerja-kerja dakwah. Apalagi jika kondisi yang ada bukan malah menyemangati tapi sebaliknya. Adalah manusiawi jika muncul lintasan sesaat untuk memilih berhenti saat rekan kerja dakwah yang lain hanya terkesan berlari… tapi berlari di tempat. Saat dalam keadaan ritme kerja dakwah yang seperti itu sangat mungkin yang terlihat di mata kita hanya satu warna saja yakni gelap. Dan tak jarang gelap menggoda kita untuk berhenti melangkah.
Tak hanya kehidupan aktivis dakwah saja yang terkadang disergap gelap. Tak sedikit yang orang lain yang turut pula mengalami hal yang sama. Kehidupan mereka disergap gelap. Tapi mereka memilih untuk berkilau. Mereka justru menjadi sinar, berbagi cahaya kepada sekelilingnya. Ada baiknya kita berkaca dari kisah hidup mereka.
Satu di antara mereka adalah seorang bocah bernama Tasripin. Mungkin beberapa yang lalu nama bocah ini tengah ramai dibicarakan. Semua mata penduduk negeri ini seakan tertuju pada bocah berumur 12 tahun ini. Bahkan orang nomor satu di negeri ini khusus membicarakan bocah ini di akun media sosial miliknya. Tak berhenti sampai di situ, beliaupun memberikan bantuannya. Bagaimana publik tidak tersentak, bocah kecil ini begitu gagah dan tegarnya di usia yang semuda itu. Ia meninggalkan bangku sekolah dan bekerja membanting tulang sebagai buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya. Dalam kondisi hidup yang seperti itu bisa jadi ia memilih untuk pergi atau mungkin memilih mati dari pada hidup dengan menanggung beban yang tidak ringan.Di tengah gelapnya tekanan kemiskinan hidup, Tasripin lebih memilih untuk berkilau. Tasripin lebih memilih untuk menjadi cahaya, berkorban dan bekerja keras demi adik-adiknya. Bukan berhenti. Apalagi mati.
Atau mungkin kita perlu juga diingatkan dengan gadis kecil ini. Sinar namanya. Hidup hanya berdua dengan ibu yang sakit lumpuh di rumah sederhana yang terletak di desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Gadis kecil ini begitu dewasa mengemban tanggung jawab melebihi usianya. Di usia yang masih 6 tahun, ia merawat ibunya selama sang ayah merantau kerja di Negara tetangga, Malaysia. Sinarlah yang membantu dan menemani ibunya selama ini. Mulai dari memindahkan atau menggeser tubuhnya, masak, makan, minum, mandi hingga buang air. Semua itu ia kerjakan sendiri dengan penuh cinta. Sinar memang masih belia. Beban hidupnya juga tak mudah. Tapi, Sinar lebih memilih berkilau dan berbagi cahaya pada ibunya tercinta dengan merawatnya sepenuh jiwa.
Sekali lagi, dari kisah hidup bocah–bocah kecil itu kita patut berkaca. Bocah kecil namun jiwa mereka tak kerdil. Mereka bisa menerobos gelap, mengalahkan keterbatasan kondisi hidup mereka. Mereka lebih memilih menjadi matahari. Mereka lebih memilih untuk berkilau dan berbagi cahaya daripada sekedar meratapi kegelapan. Dan mereka bisa. Begitupun kita, pasti juga akan bisa menjadi cahaya bagi lingkungan dakwah kita. Maka segelap apapun kondisinya, mari berhenti mengeluhkan kegelapan itu… tetaplah berkilau… tetaplah bercahaya.
Sebagaimana petuah seorang kawan, di jalan Aqobah ini…
[Sarwo Widodo Arachnida__ mencintai bayang_bayang]
Wallahu a’lam bish shawab. [Kembang Pelangi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar