(Anis Matta)
Dengan opening seperti di atas, apa yang Anda fikirkan setelah membacanya. Wah... sepertinya bakal serius dan terasa berat tulisan saya kali ini. Mungkin asumsi itu benar. Tapi semoga tidak mengurungkan niat untuk membaca hingga akhir, tentu saja.
Mengapa tiba-tiba terbesit ide untuk menuliskan ini? Bermula dari cerita salah satu kawan duduk saya dalam majelis iman, liqo'at pekanan. Jum’at sore, ketika pertemuan kami kali itu hampir berakhir, kawan saya tersebut mengurai sebuah cerita. Dia punya seorang teman yang berdomisili di kota yang cukup jauh dari tempat kami tinggal. Sebab jarak, hubunganpun lebih sering dilakukan via telepon. Tak jarang mereka berdua saling berbincang, bertukar fikiran dan sesekali berargumentasi. Berdebat, lebih sering orang menyebutnya. Hal yang lumrah, meski mereka berdua satu harakah, satu jamaah. Jamaah Tarbiyah.
Hingga suatu ketika, kata-kata tercetus tanpa diduga. “Apa kubilang, Pak Raden (Presiden terkini Republik Mimpi) itu antek Yahudi. Apa orang-orang jamaah kita tidak bisa melihat itu? Bagaimana mungkin jadi referensi pilihan “wajib” saat Pilpres kemarin..?? Lha coba sekarang, kita lihat kondisi jamaah kita..”babak belur” dihajar dari segala arah. Untunglah, tak kucoblos foto Pak Raden saat di bilik suara ketika itu!” Dan kawan saya hanya terbengong di ujung telepon. Tanpa sadar hatinya bimbang. Sudah salah pilih juga kah ia saat pilpres waktu itu?
Begitulah... cerita tentang teman jauh kawan saya itu sepertinya sering kita dengar atau bahkan mungkin kita terlebih saya pribadi, pernah terbesit untuk menjadi “calon” pelaku ketidak taatan pada hasil syuro para qiyadah. Pada keputusan jamaah. Sebab tak jarang kenyataaan seperti ini terjadi dalam perjalanan pergerakan dakwah kita. Sebab kenyataan seperti ini lumrah terjadi sebagai implikasi dari fakta yang lebih besar yakni adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk. Demikian Anis Matta menyebutnya dalam bukunya Menikmati Demokrasi. Dan jamaah tarbiyah ini termasuk dalam kategori tersebut. Betapa tidak, para penumpang dalam gerbong kereta pergerakan dakwah ini begitu bervariasi. Semua yang hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini berasal dari latar belakang keluarga, sosial, dan tingkat pengetahuan yang berbeda. Dan tentu saja, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Meski, proses tarbawi berusaha menyamakan sudut pandang berfikir kita sebagai kader dengan merumuskan konsep manhaj dakwah yang jelas. Namun dinamika personal tiap kader, pola menejerial organisasi, dan local culture wilayah dakwah masing–masing masih akan tetap memberi ruang bagi adanya kemungkinan munculnya perbedaan. Begitu ulasan Anis Matta dalam buku tersebut, mengenai fenomena ini.
Anis Matta juga menambahkan, ada empat hal yang mesti kita lakukan seandainya suatu ketika fenomena seperti ini “menggoda” ketsiqohan kita atas keputusan jamaah.
Pertama, merenungi dan bertanya secara jujur pada nurani kita apakah pendapat yang kita anggap lebih baik dari keputusan jamaah adalah berasal dari sebuah upaya “ilmiah” seperti kajian, pengalaman dan pembuktian lapangan yang bisa kita jadikan landasan yang kuat sehingga layak bagi kita untuk “ngotot” mempertahankannya. Dan semoga bukan hanya sekedar “lintasan fikiran sesaat” saat syuro berlangsung atau saat sebuah keputusan diumumkan. Alangkah tak pantas sebagai kader yang berilmu ngotot mempertahankan pendapat tanpa landasan yang kuat. Bahkan bila pendapat kita berasal dari proses ilmiah yang intens dan sistematis maka selayaknya yang dicontohkan para ulama, ketawadhu’an. Dengan berpegang pada kaidah “Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."
Kedua, bertanya kembali dengan lebih jujur pada diri kita. Apakah pendapat yang kita bela tersebut adalah sebuah “kebenaran objektif” murni atau malah telah terkontaminasi “obsesi jiwa” yang kadang sadar atau tidak sadar mendorong kita untuk terus “ngotot” mempertahankan pendapat kita sebagai bentuk pembelaan terhadap eksistensi diri pribadi.
Ketiga, seandainya kita tetap yakin bahwa pendapat kita lebih benar dari apa yang sudah menjadi keputusan jamaah, maka kita mesti tetap percaya bahwa mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah sangat jauh lebih penting dan utama jika dibandingkan sekedar memenangkan satu pendapat yang boleh jadi sejatinya memang benar. Sebab perlu kita ingat kembali bahwa berkah dan pertolongan Allah hanya turun pada jamaah yang bersatu padu bukan yang bercerai berai. Yang bahkan jika terbukti keputusan syuro tersebut keliru, maka dengan keutuhan dan keutuhan shaff jamaah yang kita jaga akan mudah bagi jamaah untuk mengurangi dampak negatif dari kekhilafan tersebut. Baik dengan mengurangi tingkat resiko yang timbul atau menciptakan kesadaran baru dalam jamaah yang bisa jadi tak akan pernah tercapai jika tanpa pengalaman “jatuh” seperti itu. Hingga hati tiap kader akan lapang menanti rahasia hikmah yang telah disiapkan Allah atas apa yang terjadi.
Keempat, sesungguhnya dalam mengelola ketidaksetujuan syuro itu kita telah dipaksa belajar banyak hal tentang makna iman, tentang makna ikhlas yang tiada batas, tentang makna tajarrud melawan hawa nafsu, tentang menjaga keutuhan ukhuwah, tentang kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri secara tepat dalam kehdupan berjamaah, tentang tradisi ilmiah yang harus dilestarikandan kelapangan hati yang tak terbatas, hingga tentang betapa ilmu yang kita miliki terbatas jika dihadapkan pada ilmu Allah, dan tentu saja tentang makna tsiqoh pada keputusan jamaah
Dalam tulisannya tersebut ustadz Anis Matta pun mengingatkan, jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Sebaliknya, yang mesti kita lakukan adalah memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan mendalam. Begitupun di saat yang sama, kita makin melapangkan hati kita untuk menampung segala bentuk perbedaan yang mungkin timbul. Dan tak lupa pula dengan segala kerendahan hati kita yakin ada begitu banyak ilmu, rahasia serta hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mungkin belum tampak saat ini dan justru akan datang saat hari-hari mendatang.
Dan pada akhirnya pilihan sikap kita dalam mengelola ketidak-sepakatan kita atas keputusan jamaah benar-benar akan menyingkap tabir diri kita sebagai mana telah saya kutip di awal, semua bakal nampak: apakah sejatinya, kita telah matang secara tarbawi atau tidak? [Kembang Pelangi]