Keep Move On 'coz if you don't CHANGE you'll DIE

Selasa, 25 November 2014

Menjaga Nafas Panjang Dakwah

Ada banyak peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati hanya dengan memejamkan mata…bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada
[Muhammad Nursani]
“Ga usah datang syuro… ga usah ketemu dulu hari ini dhek…kalau memang begitu…” ujar kakak di penghujung cerita.
“Hmmm…begitu yaa…?” sahut adhek dengan nada mempertimbangkan.
“Sebenarnya ndak pingin seperti ini kak… tapi… hati ini rasanya masih nyeri… belum benar-benar sembuh… kak… ”guyonan beliau” menyakitkan… saya belum bisa terima… padahal selama ini beliau orang yang saya sayangi dan saya hormati…” lanjut adhek menjelaskan alasan.
“Jangan lama-lama… rugi sendiri kan kalau “seret “ ritme dakwahnya hanya karena “banyolan” yang begituan… dhek… ingat… Rasulullah cuma kasih injury time maksimal 3 hari… kakak rasa ade sudah paham itu…” dengan bijak kakak memberi saran.
“Ya…kakak benar…” Adhek sepakat
“Ok deh adhek ku ini emang pinter…tapi lebih sip lagi kalau buku tazkiyatun nafs yang lebih sering dibaca…biar ndak mudah keruh kalbunya… jangan baca novel mulu biar ndak gampang galau…hehehe…” nasehat si kakak berbalut canda.
“He…he…he…Ok boss…” sahut adhek sambil tertawa.

Benarlah yang disampaikan Syaikh Musthafa Masyhur jika dalam dakwah, seorang pejuang Islam wajib mempunyai salah satu sifat “nafasun thawiil” yakni nafas yang panjang. Sebab jalan dakwah yang panjang dan terjal tak mungkin dilalui oleh orang- orang yang ber”nafas pendek”. Yang mudah goyah dan kurang sabar. Orang yang sedikit terkena hempasan “angin ujian” sudah membuatnya menghentikan langkah dan menjadikan hempasan itu sebagai alasan untuk menghentikan langkah. Padahal kita sangat mengerti bahwa di jalan aqobah ini ada bekal yang mesti kita siapkan jika benar-benar ingin selamat sampai tujuan, yakni sikap lapang dada, nafas panjang dan mudah memaafkan.

Angin ujian dan badai konflik adalah sebuah keniscayaan di jalan ini. Dan datangnya tak hanya dari orang-orang di luar wajihah dakwah kita. Yang biasanya begitu peduli dan perhatian pada kita, dengan cara begitu rutin mengkritisi setiap tutur kata, prilaku dan pilihan keputusan yang kita ambil. Baik secara pribadi maupun secara haraki. Kritikan pedas, celaan dan makian kasar serta penolakan mereka biasa kita terima. Resiko sebuah perjuangan, demikian kita sering menamainya untuk membesarkan hati, memadamkan dendam.

Namun, tak jarang sumber konflik itu justru adalah kawan seiring, sahabat dekat, leader yang kita hormati yang di jalan ini kita sebut sebagai saudara, saudara seiman lebih tepatnya. Sebab di jalan ini kita disadarkan jika ikatan aqidah bisa jadi lebih kental dari ikatan darah. Demikian Rasulullah dan para sahabatnya memberi teladan. Bentuknya bisa berupa banyolan-banyolan yang tak bisa dibilang lucu dan bikin geli, perbedaan pandangan dan argumentasi, kata-kata nasehat yang tak sengaja menyakiti, kritik saran yang sejatinya bentuk kasih sayang atau bahkan keputusan rapat yang sudah sesuai kaidah syar’i tapi kadang kurang kita sukai. Semua itu bisa menjadi benih luka yang menjadikan cerahnya wajah kita berubah, indahnya senyuman jadi musnah dan bukan tidak mungkin menghadirkan amarah.

Banyak kisah para shalafus shalih yang mengajarkan kita untuk lebih mudah berlapang dada. Ketenangan hati mereka tak mudah terusik oleh persoalan hidup yang tengah mereka hadapi apalagi terusik dan tergadai oleh hal-hal remeh. Bisa jadi memang mereka berduka, kecewa atau bahkan tersulut api kemarahannya akibat suatu perkara. Tapi mereka berhasil menguasai kembali hatinya dan kembali menatap ke depan dan melangkah dengan mantap.

Salah satu kisah tentang lapang dada yaitu Ibrahim An Nakhi’i, suatu ketika melakukan perjalanan dengan salah seorang temannya yang buta. Di sepanjang perjalanan tak sekali dua kali orang-orang menghina dan meremehkan keduanya. Hingga si teman perjalanannya yang buta itu mengeluhkan hal tersebut, “wahai Ibrahim… coba tengok mereka… orang-orang itu mengatakan… itu orang buta dan itu orang pincang… itu orang buta dan itu orang pincang…” Dan Ibrahim berkata dengan tenang lalu mengatakan, “Kenapa kita harus terbebani memikirkan hal tersebut… jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala karena bersabar atasnya… lalu kenapa…?”

Ada pula kisah lain tentang mudahnya memaafkan dari Rabi’ bin Khaitsam, saat kudanya dicuri dan Fudhail bin Iyadh malah memberinya uang 20 ribu dinar. Sekaligus memberi nasehat, “doakan orang yang telah mencuri kudamu itu ”. lalu Rabi’ mendoakan pencuri itu “ Ya Allah jika ia orang kaya maka ampunilah dosanya, dan jika ia orang miskin maka jadikanlah ia orang kaya…”
Betapa mulianya ia yang punya kesempatan meratapi duka dan mengutuk si pembuat luka namun ia ganti dengan doa yang menyejukkan jiwa.

Jika kita teliti, kedua kisah di atas memberi teladan bagi kita bahwa kita akan terkesan menjadi orang yang paling menderita di dunia jika kita tidak mudah bersabar, sulit memaafkan dan sukar berlapang dada. Mengutip tulisan ust. Muhammad Nursani bahwa sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang remeh. Penderitaan yang paling berbahaya adalah tujuan hidup kita yang demikian agung, Dakwah ilallah terbentur dengan kondisi hidup yang sebenarnya sepele. Masalah sederhana jika kita melihatnya secara keliru kemudian memicu sempitnya dada, nafas tersengal, wajah tertekuk, amarah menggemuruh, air mata yang menitik dan yang lebih berbahaya melahirkan dendam.

Maka alangkah ruginya, sebab bisa jadi jiwa kita lebih disibukkan oleh perkara-perkara sederhana. Perkara yang remeh temeh. Dan selanjutnya, tentu saja akan makin sedikit amal-amal besar yang bisa kita lakukan. Sebab amalan-amalan besar hanya muncul dari jiwa yang tenang , hati yang lapang penuh keridhoan. Semua aral yang melintang, tak ubahnya kerikil jika kita paham ke mana arah kita melangkah. Sebab kita sedang berjalan menuju Allah.

Semua itu tak akan sia-sia. Sebab balasan Allah lebih indah, Sebagaimana dalam Firman Nya.
“…..dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.An Nuur 24:22)

Benar pula kutipan bijak dari saudara seiman berikut ini.
jika sesuatu ditujukan hanya kepada Allah…artinya selesai..
dan jika harapan diserahkan hanya pada Allah… kau boleh tersenyum sekarang…
[Sarwo Widodo Arachnida]

Senin, 13 Januari 2014

Mencium Pipi Suami Saat Setan Menangis


Mmmmuuuuuaaach… tiba-tiba sebuah ciuman mesra mendarat tepat di pipi. Yang punya pipi tentu saja reflek terkejut. Tangan kirinya terangkat mengelus pipi bekas ciuman tadi sambil mengerutkan alis mempertanyakan alasan. Padahal belum sampai sepuluh detik dirinya bangkit dari sujud. Mushaf Al Qur’an masih terpegang erat di tangannya yang sebelah, khawatir meluncur bebas. Jatuh.

"Hadiah dariku, he he he," sahut perempuan muda itu dengan gaya sedikit centil.
"Hadiah apaan?" tanya si lelaki penasaran.
"Ada deeeeh..." jawab perempuan muda itu dengan senyum tertahan.

Si lelaki tanpa pikir panjang tetap melanjutkan bacaan tilawahnya kala itu. Sambil duduk bersila di samping si lelaki, perempuan muda itu turut menikmati lantunan kalam Illahi yang sedang suaminya baca.

Itu sujud tilawahnya yang kesekian kali, sejak hari pertama dia sah menjadi imamnya. Ya... keduanya adalah pasangan suami istri, belum genap lima hari keduanya menikah. Sedang indah-indahnya. Saat pertama kali melihat suaminya melakukan sujud tilawah, dia cuma bisa terpana. Kagum.

Bukan tidak pernah, dia mendengar amalan “sujud special” itu tapi baru kali ini perempuan muda itu melihat orang dekatnya melakukan amalan tersebut. Dosen di kampusnya pernah menjelaskan mengenai hal itu. Guru agamanya sewaktu SMA juga pernah menyampaikannya.

Namun, perempuan muda itu belum pernah melihat ayahnya, saudara-saudaranya, gurunya, dosen kuliahnya, teman-teman di rumah kost yang ia tinggali, atau teman-teman taklimnya yang dengan spontan dan istiqomah melakukan sujud tilawah ketika mereka tilawah Al Qur’an. Kapanpun dan di mana pun. Padahal tak sedikit yang memiliki latar belakang “pendidikan agama” yang lebih. Tentu saja baginya, amalan yang dilakukan suaminya yang notabene background agamanya “otodidak” adalah sesuatu yang istimewa. Berilmu sedikit kemudian langsung beramal.

Dan sejak itu, si perempuan muda berjanji memberi hadiah “satu kecupan mesra bagi sang suami tiap kali dia melakukan sujud tilawah”. Terlalu genit…? Yaaach tak apalah… sudah halal ini… hihihi

Eiiits… Tapi bukan soal kemesraan mereka berdua yang akan dibahas kali ini. Tapi soal salah satu pemicu kemesraan mereka yakni sujud tilawah. Sebagai seorang muslim tentu kita perlu tahu atau sekedar mengingat kembali bagaimanakah sejatinya sujud tilawah dan bagaimana hukumnya. Berikut ini sedikit penjelasan yang berhasil dihimpun penulis dari berbagai sumber.

Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan sebab membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat di Al Qur’anul Karim.

Pada mushaf yang kita miliki, biasanya sudah ada penanda pada ayat-ayat Al Qur’an yang termasuk aya-ayat sajadah. Tanda tersebut dapat berupa lambang berbentuk kubah atau bentuk simbol lain di akhir ayat.

Saat kita membaca atau mendengar ayat-ayat tersebut dibacakan kita disunnahkan melakukan sujud tilawah. Ada hadits yang menjelaskan mengenai keutamaan amalan sujud tilawah ini yaitu,

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.”
(HR. Muslim no. 81)

Sedangkan lafadz yang dibaca saat melakukan sujud tilawah sama seperti yang dibaca ketika sujud dalam sholat fardhu. Ada beberapa pilihan bacaan yang bisa dipakai, diantaranya :

Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa”. Artinya: Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi. (HR. Muslim no. 772).

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” Artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku. (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).

Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.”. Artinya: Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta. (HR. Muslim no. 771).

Dan berikut ini ayat-ayat dalam Al Qur’an yang termasuk ayat- ayat sajadah, antara lain :
1. Surat Al A’rof ayat 206
2. Surat Ar Ro’du ayat 15
3. Surat An Nahl ayat 49-50
4. Surat Al Isro’ ayat 107-109
5. Surat Maryam ayat 58
6. Surat Al Hajj ayat 18
7. Surat Al Furqon ayat 60
8. Surat An Naml ayat 25-26
9. Surat As Sajdah ayat 15
10. Surat Fushilat ayat 38
11. Surat Shaad ayat 24
12. Surat An Najm ayat 62
13. Surat Al Insyiqaq ayat 20-21
14. Surat Al ‘Alaq ayat 19
15. Surat Al-Hajj ayat 77

Dari daftar ayat-ayat yang tersebut di atas, para ulama berselisih pendapat apakah surat Shaad ayat 24, surat An Najm ayat 62, surat Al Insyiqaq ayat 20-21, surat Al ‘Alaq ayat 19, dan surat Al-Hajj ayat 77 termasuk ayat sajadah atau bukan.

Sedangkan mengenai hukum sujud tilawah ini, di antara para ulama ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat wajib ada yang berpendapat sunnah.

Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,


فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ
“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).

Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.

Sedangkan dalil yang menjadi hujjah jika sujud tilawah tidak wajib (sunnah) adalah hadist berikut ini,

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,

قَرَأْتُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ( وَالنَّجْمِ ) فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhir kata, yang dikemukakan di atas adalah sekedar referensi. Tambahan ilmu saja. Adalah pilihan kita, cukup menyimpannya saja di kepala kemudian terlupa ataukah memilih menyempurnakannya menjadi tambahan amal pahala. It’s all up to you.

Tapi… semoga sujud tilawahnya bukan karena hadiah bonusan tadi ya… #Uuuups…!!! [Kembang Pelangi]

Senin, 30 Desember 2013

Memperjuangkan Kriteria Cinta

 
 
 
Menikah itu bukan hanya urusan dunia saja, Sayang. Menikah adalah perkara yang juga akan dibawa di akhirat kelak. Makanya,pertimbangannya juga tidak boleh hanya pertimbangan duniawi saja. Bahkan seharusnya, pertimbangan akhirat yang memiliki bobot yang lebih tinggi. Karena kita akan hidup lebih lama di akhirat daripada di dunia, bukan?
#repost statusnya EDCOUSTIC

Hari I
“Jadi bagaimana Pak keputusan terakhirnya…?” Zahra bertanya to the point memecah kebisuan yang merebak di antara keduanya. Bapak, orangtua yang tinggal satu-satunya dengan dirinya, putri pertama yang dikenal penurut.
“Bolehkah….?”Lanjutnya saat belum jua terdengar suara.
“Tidak…” ucap si Bapak perlahan seperti takut jawabannya akan menyakitkan.
“Apakah benar- benar tak bisa dinego…?” Zahra coba kembali mengais kesempatan.
“Sudah bapak bilang tidak… sudah bapak timbang baik-baik beberapa hari ini, tak mungkin kulepas putriku pada lelaki yang tak bisa tiap hari pulang karena pekerjaan, dan terlebih lagi tak sebanding antara pengorbanannya dan gaji yang ia terima… pendidikanya juga biasa saja… keluarga dan kerabatnya jauh tak mudah ditemui untuk silaturrahmi… berat… ”lanjut bapak menjabarkan sederet alasan.
“Apa benar-benar tidak bisa…”Zahra kembali memastikan.
“Tidak…” jawab bapak singkat.
Zahra diam tidak membantah.

Hari II
“Bapak bilang tidak boleh… benar seperti yang diperkirakan… pekerjaan antum yang jadi simpul penghalang…” Zahra mengabarkan pada Syam, Si Lelaki Cahaya.
“Ya sudah tidak apa-apa… kewajiban anak patuh dan nurut dengan orang tua…” bijak Syam memberi jawaban.
“Saya akan coba perjuangkan lagi...” Zahra memberi harapan.
“Wajar seorang ayah ingin yang terbaik untuk putrinya… ada baiknya anti mencari keridhoan orang tua… ikhtiar sudah dilakukan… apapun hasilnya… pasrahkan saja padaNya… ” lanjut Syam
“Baik… InsyaAlloh Jum’at besok saya kabari…” Zahra mengakhiri.

Hari III
“Maaf Pak, untuk kali ini saya kurang sepakat dengan keputusan Bapak… bagi saya alasan penolakan yang Bapak utarakan jujur hingga saat ini belum bisa saya terima… sekeliling saya merekomendasikan dengan lelaki karakter seperti itu… terlalu sayang untuk dilepaskan… beliau mau menerima kekurangan fisik dan gangguan kesehatan yang saya derita… dan yang terpenting beliau bisa menerima “dunia dakwah” yang saya geluti dengan segala konsekuensinya… maaf Pak untuk kali ini saya kurang sepakat… apa benar-benar keputusan bapak tidak bisa dipertimbangkan ulang…?” Zahra memberanikan diri menyampaikan pendapatnya.
“Ridho Bapak adalah syarat yang utama… beliau tidak memaksa… terserah Bapak… hanya ikhtiar kemudian pasrah saja..”Zahra melanjutkan.
“Baiklah… Bapak anggap kamu sudah siap dan memikirkan semua resiko yang akan kalian hadapi… silahkan… bapak ridho…” Bapak memberikan keputusan akhirnya.

Hari ini
Ijab Qobul pernikahan sudah terjadi, hidup bersama sudah mulai dijalani.Si Bapak dan Zahra hanya bisa bersyukur memilih Syam, sang lelaki cahaya sebagai bagian keluarga. Lelaki yang berusaha sholat berjamaah di setiap fardhunya. Berlama-lama saat ruku dan sujudnya. Menjaga wudhu di setiap waktu matanya terbuka. Dan berusaha tidak lupa sujud tilawah setiap ayat sajdah yang ia temui ketika mengaji. Dan semua itu jauh lebih menentramkan dari pada seraut wajah yang tampan, bergelimangnya kekayaan, atau baiknya nasab keturunan. Tak akan kecewa yang menikah atas dasar pilihan agama.

Waaaah… panjang juga kisah pembukanya. Tak penting ini kisah fiksi atau nyata. Ibrohnya, sepertinya sebagian pembaca sudah bisa menduga.Ya, tentang bagaimana menetapkan standar kriteria dalam urusan pernikahan. Baik bagi yang menjalani maupun yang terbebani kewajiban mencarikan jodoh untuk putra dan putri tercinta. Banyak dari kita sudah tahu secara teori, bagaimana Islam menuntun umatnya.

“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi rupanya untuk tataran aplikasi, tak bisa dipungkiri masih banyak orang tua dan “calon pengantin” yang pilih-pilih atau terlalu berlebihan menetapkan standar kriteria. Harus putih, tinggi , mulus wajah dan kulitnya, keturunan ningrat, strata satu minimal pendidikannya, jelas hitungan gaji per bulannya, apa tipe dan merek kendaraan yang dimilikinya, berapa meter persegi luas rumah dan aset pribadinya. Waah saya terlalu berlebihan sepertinya menyebutkannya. Bukan berarti tidak boleh, tentu sah–sah saja. Semua hal yang baik-baik itu bisa dimasukkan dalam list kriteria kita. Tapi apakah sudah tepat urutan yang kita pakai saat membuat standar kriteria. Apakah akhlak dan agama menempati urutan pertama atau sebaliknya justru menempati urutan paling buncit… paling akhir. Mana yang lebih kita dahulukan pertimbangan duniawi atau pertimbangan akhirat.

Padahal jika kita rasional, mana yang lebih awet “daya tahan” dan “daya guna” nya bagi kita. Yang bersifat duniawi dan materi seperti keindahan fisik dan berlimpahnya harta atau indahnya akhlak dan iman yang terjaga. Dua yang pertama masa menikmatinya berbatas waktu. Sebaliknya dua yang selanjutnya saya kira lebih bisa tahan lama. Lebih bisa berguna bahkan saat kita sudah tidak lagi di dunia. Akhlak yang indah dan iman yang terjaga lebih berpotensi mendorong seorang manusia untuk mendulang banyak pahala. Dan itu bekal yang sejatinya kita bawa sesudah akhir dunia. Dan kehidupan sesudah dunia itu jauh lebih lama. Sebagaimana kata hikmah dari Fanpage tim Nasyid ternama EDCOUTIC di atas.

Menikah itu bukan hanya urusan dunia saja, Sayang. Menikah adalah perkara yang juga akan dibawa di akhirat kelak. Makanya,pertimbangannya juga tidak boleh hanya pertimbangan duniawi saja. Bahkan seharusnya, pertimbangan akhirat yang memiliki bobot yang lebih tinggi. Karena kita akan hidup lebih lama di akhirat daripada di dunia, bukan?

Soal itu Allah sudah jelas-jelas menerangkan dalam firman Nya
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
(QS. Al-Ankabut ayat 64)

Baiklah sedikit saran telah selesai disampaikan. Untuk para orang tua dan “calon pengantin” akankah tertarik mengubah nomor urutan standar yang telah ditentukan…? Well…di tangan andalah letak semua keputusan dan pilihan. Wallahu’alam bish shawab. [Kembang Pelangi]

Minggu, 22 September 2013

Sebuah Fragmen Persiapan Pemimpin Masa Depan

Jika kau hidup untuk dirimu sendiri… maka bolehlah kau terpuruk selamanya..
tetapi lihat kiri-kananmu… lihat mereka… wajah-wajah itu.. harapan–harapan itu…

bangkitlah kawan… kaulah pelita di remangnya realita…!! kau istimewa bersama dakwah..!!!

#karena kita seorang muslim…!!


[Sarwo Widodo Arachnida]

“Interupsi…! Saudara pimpinan…” ucap pria muda yang ada di ujung pojok kanan ruangan dengan logat tegas, khas luar jawa. “Ana rasa sebelum palu keputusan diketuk ada baiknya kita tinjau kembali dan menyamakan persepsi mengenai laporan pertanggungjawaban kali ini… ” lanjutnya dengan nada yang cukup serius. Setelah beberapa argumentasi akhirnya keputusan pun diambil, palu pimpinan “sidang” diketuk di atas meja.

Selang berapa waktu, peserta sidang terbagi menjadi dua dan masing-masing berpisah menuju tempat berbeda untuk melanjutkan “sidang” sesuai tema pembahasan yang telah tertera. Dan ternyata, meski di ruangan yang berbeda greget pria muda itu masih sama. Penuh perhatian dengan tema, mengulas permasalahan dengan gamblang dan berusaha memaparkan solusi sambil sesekali membaca teliti kertas draf yang terpegang oleh jari. Dan ia tidak sendiri, hampir sepertiga perserta “sidang” yang saya ikuti memiliki tipikal yang sama.

Jangan salah… yang saya ikuti bukanlah para anggota legislatif di gedung dewan sana. Mereka yang ada di hadapan saya murni masih mahasiswa. Mereka para calon pemimpin masa depan negeri ini, mereka tengah melaksanakan Musyawarah Daerah KAMMI Surabaya di gedung sederhana daerah pinggiran kota Pahlawan.

Subhanallah…!!! Saya katakan lirih dalam hati. Sejatinya Republik ini belum benar- benar kehilangan harapan… masih ada pemuda dan pemudinya yang memiliki rasa peduli dengan masa depan negeri ini. Merekalah nantinya yang diharapkan jadi pengusung aspirasi umat lewat pintu birokrasi. Dan lewat agenda –agenda semacam itulah mereka ber-tafaqquh, menempa dan meningkatkan kompetensi mereka. Sebab bukan tidak mungkin berapa tahun lagi ke depan di tangan merekalah tampuk kepemimpinan negeri ini. Dan ketika saat itu tiba mereka harus sudah siap.

Sebagaimana pesan hikmah Khalifah Umar bin Khattab berikut ini,
“Bertafaqquhlah kalian(bangun kompetensi) sebelum kalian menjadi pemimpin, sebab setelah kalian menjadi pemimpin, tidak akan ada lagi cukup waktu untuk bertafaqquh”

Begitu hakikatnya mahasiswa sejati. Bukan hanya lembar–lembar buku diktat kuliah yang penuh teori saja yang mesti dipelajari. Tak hanya duduk manis sambil terkantuk-kantuk mendengar kuliah dari dosen yang mengisi materi. Tak sekedar menghabiskan waktu beberapa tahunnya di bangku kuliah hanya demi selembar ijazah sarjana saja yang menjadi orientasi. Bukan… bukan itu mahasiswa sejati.

Sejatinya, mahasiswa adalah sosok yang berbeda. Mereka lebih cerdas dan berilmu dari pada anak muda biasa. Mahasiswa mempunyai kesempatan lebih untuk meningkatkan kompetensi dan menemukan hakikat dirinya. Apalagi mahasiswa muslim, mereka memiliki “beban” tanggung jawab lebih yakni bagaimana meski tengah mencari ilmu, mereka tetap bisa dengan segera mengamalkan ilmu dan memberi manfaat bagi umat. Bagi mereka pun turut berlaku Sabda Nabi: ”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni.)

Menjadi mahasiwa yang bermanfaat bagi umat, caranya beragam. Salah satunya yang bisa dipilih yakni ikut aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa yang tepat. Organisasi yang tidak hanya sekedar memfasilitasi hobi dan kesenangan yang sifatnya pribadi. Alangkah lebih baik dan lebih bijak jika bergabung dengan organisasi mahasiswa yang bisa memberi ruang bagi potensi yang dimiliki serta mampu menjembatani untuk meningkatkan kompetensi diri. Dan tentu saja, organisasi yang mampu melindungi idealisme kita sebagai seorang muslim. Organisasi yang tetap membuat ibadah–ibadah harian kita baik yang wajib maupun sunnah tetap terjaga di tengah kesibukan menjalankan roda organisasi. Bahkan jika bisa, malah justru memotivasi kita untuk meningkatkannya. Dan organisasi yang kita ikuti tersebut turut pula mengasah kepekaan sosial kita terhadap problematika masyarakat dan berusaha berfikir dan bekerja inovatif memberi solusi nyata bagi permasalahan tersebut.

Maka bagi mahasiswa adalah penting untuk peka dan selektif memilih organisasi yang akan diikuti. Dan biasanya organisasi yang layak jadi rekomendasi adalah organisasi yang mengusung bendera dakwah. Bukan berarti di dalamnya isinya kajian melulu. Atau membuat gengsi kita menurun sebagai mahasiswa karena trekesan udik dan terbelakang. Justru biasanya organisasi yang bernaung di bawah bendera dakwah justru menjanjikan paket lengkap. Sisi Akademis, manajerial, kepemimpinan, kepekaan sosial dan religiusitas terakomodir dengan memadai.

Tidak percaya. Coba saja…!!! [Kembang Pelangi]

Selasa, 27 Agustus 2013

Mengenal Karakteristik Jama'ah-jama'ah Dakwah

Dakwah akan menjadi tinggi…saat pribadi yang membawanya…sama indah… dengan apa yang di bawanya…
[ Sarwo Widodo Arachnida ]

Radikal…!!! Sampeyan itu terlalu radikal…! Ucapan itu tiba –tiba meluncur tanpa diduga dari lelaki separuh baya yang ada di ujung meja, ayahnya. Sebuah ucapan yang belum pernah didengar sebelumnya. Tidak sekalipun sejak ia mengenal dan memutuskan bergabung dalam barisan kafilah dakwah, pengusung risalah para anbiya'. Kata “radikal” itu membuatnya menginsyafi, sepertinya kali ini ia salah langkah…salah memilih strategi dalam berdakwah. Tiba–tiba mucul sebuah tanya “seperti apakah format dakwah yang ideal itu sejatinya…? ”

Dewasa ini, dakwah Islam mengalami perkembangan. Beragam jamaah dengan berbagai bendera pun bermunculan. Yang mana hampir bisa dipastikan semua jamaah mengaku berjuang dan berdakwah di jalan Allah. Dan masing–masing jamaah mempunyai spesifikasi tertentu dalam dakwah yang mereka usung. Setiap jamaah dakwah mempunyai pendekatan dan sudut pandangnya sendiri. Tanpa perlu menghakimi siapa yang paling unggul dan terbaik. Ada baiknya kita mencoba mengenali sebagian di antaranya. Berikut ini beberapa jamaah beserta karakterisiknya sebagainya pernah disampaikan ustadz Amir Faishol Fath.

Jamaah yang satu ini terlihat begitu cinta dengan masjid. Mereka tak hanya sekedar mencintai masjid, mereka berusaha menghidupkannya. Cara dakwah mereka berkunjung dari masjid ke masjid. Isu utama yang mereka usung ketika menyampaikan dakwahnya adalah mengenai makna laa ilaha illaah. Sering kali terutama selesai shalat berjamaah mereka dengan penuh keyakinan menyampaikan pentingnya memaknai laa ilaha illallah sebagai pondasi untuk meraih kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana, yang jamak terjadi kini banyak muslim yang mengucapkan laa ilaha illallah tapi dalam kehidupan sehari–hari masih tetap menomor duakan Allah. Melaksanakan shalat tapi tetap bermaksiat. Halal dan haram aturan Allah sering dicampuradukkan. Dosa dan ketaatan masih dijalankan beriringan. Maka, ada kalimat pengantar yang menjadi ciri khas jamaah ini saat memberi taushiah yakni inna najaahanaa wa falaahanaa fiddunya wal akhirah biqodri a’maalinaa bi laa ilaha illallah yang kurang lebih artinya sesungguhnya kesuksesan dan kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat sangat tergantung pada kesungguhan kita dalam mengamalkan laa ilaaha illallah. Meski jamaah ini jarang, bahkan menghindari membicarakan isu dan tema politik anggota jamaah ini tergolong kumpulan orang–orang yang santun penuh persaudaraan. Hampir tidak pernah menjelek-jelekkan, mencaci dan memusuhi jamaah dakwah lainnya. Mereka larut dalam kesederhanaan gaya penampilan dan dakwah mereka. Mereka meyakini bahwa dakwah itu untuk memperbaiki bukan untuk menghakimi apalagi mencaci. Mereka mengisyafi mungkin cara mereka bisa dibilang terlalu tradisional dan mengesampingkan teknologi, tapi bagian merekalah menangani sisi–sisi yang belum tersentuh oleh jamaah dakwah lainnya

Jamaah yang satu ini berbeda lagi. Biasanya mereka duduk khusuk di selasar masjid sambil jemari menggengam tasbih panjang. Mulutnya tak berhenti berdzikir. Ibadah ritual yang menjadi kosentrasi mereka. Terkadang hingga membuat mereka mengacuhkan urusan dunia. Tak makan berhari-hari tak menjadi masalah bahkan dianggap sebagai pencapaian puncak ruhani. Lupa kewajiban pada anak dan istri. Tak hanya itu, bermunajat pada Allah dengan gerakan menari berputar–putar adalah salah satu ciri. Sebagian dari mereka menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan isyari (simbolik) yakni ayat Al Qur’an tak lagi dipahami sesuai makna bahasa Arab yang asli melainkan sebagai simbol dari makna ruhani yang mereka pahami. Para ulama tafsir dan ulumul Qur’an banyak yang tak sepakat dengan hal ini. Banyak yang mengkritisi apa yang dilakukan jamaah ini, sebab Islam yang dibawa Rasulullah ini universal mencakup segala hal bukan hanya ritual. Sebagimana pula yang Rasulullah contohkan, tak hanya rajin shalat tapi juga berjihad di medan perang. Tak hanya dzikir tapi urusan ekonomi dan Negara juga dipikir. Tidak timpang sebelah. Islam hadir tak hanya untuk menajamkan ruhiah kemudian menumpulkan sisi lainya. Justru Islam hadir sebagai solusi untuk semua dimensi.

Jamaah selanjutnya, ia begitu aktif mempromosikan berdirinya khilafah. Jamaah ini berpendapat jika umat Islam kehilangan kekuatannya akibat runtuhnya khilafah yang dianggap sebagai wadah politik untuk menegakkan ajaran Islam. Jamaah ini aktif menggelar beragam kajian dengan tujuan agar wawasan intelektual kaum muslim terbuka dalam berbagi hal. Terlebih mengenai pemahaman Islam dan permasalahan yang berkutat dalam hal intelektual. Namun, kita semua menyadari jika masalah umat ini tak hanya itu. Umat ini perlu tarbiyah yang berkesinambungan untuk menuju tegaknya kembali khilafah ala minhaji nubuwwah. Khilafah yang dulu pernah ada bukan datang begitu saja. Khilafah hadir dalam rentang sejarah perjuangan yang panjang dan pembinaan yang tanpa henti. Meski terkadang keterikatan secara emosional lebih terasa kuat dalam anggota jamaah ini, tetapi signifikansi kontribusi jamaah ini dalam menghadapi tantangan berbagai aliran pemikiran yang menyimpang di tengah masyakat layak untuk dibanggakan. Kita mesti mengakui hal tersebut sebagai terobosan yang mungkin belum dimiliki jamaah lain.

Berikutnya, jamaah kali ini berperan kongkrit dalam menyelesaikan masalah pembinaan akidah dengan kembali memahami nash –nash hadits dengan begitu selektif. Melalui proses tahqiq yang mereka lakukan, banyak hadits–hadits Rasulullah yang awalnya tak diketahui kedukukannya kemudian menjadi jelas klasifikasinya antara yang shahih dan yang dhaif. Menurut jamaah ini kembali pada tuntunan Rasulullah adalah keharusan sehingga tak jarang mereka menghadang fenomena apa saja yang menurut kacamata mereka tak ada nashnya dari Rasulullah. Meski tak jarang sebagian dari mereka yang begitu bersemangat menggebu mudah menjatuhkan anggapan sebuah fenomena yang yak ada teksnya dari Rasulullah sebagai sebuah bid’ah. Sebab tidak semua fenomena perkembangan hidup manusia modern tercover secara lengkap dan mendetail pada zaman rasulullah. Tak sedikit perkembangan tersebut yang membutuhkan ijtihad–ijtihad baru sehingga hal ini mehadirkan lahirnya ulama-ulama fiqih. Yang mana ulama–ulama tersebut menghasilkan berbagai dokumentasi terkait kajian fiqih yang kadang dengan alasan bahwa kita sudah memiliki teks hadits Rasulullah langsung yang mungkin hanya perdasarkan pemahaman versi ilmu sempit kita ijtihad-ijtihad dari ulama fiqih tersebut jadi terabaikan. Dan berujung mudah menjatuhkan vonis ahlu bid’ah atau takfir pada yang jamaah kurang sejalan. Bukankah perbedaan ijtihad belum pernah akan jadi alasan yang cukup untuk saling bertentangan dengan sesama muslim.

Jamaah terakhir yang dibahas kali ini, bersifat komperhensif. Jamaah ini memperhatikan betul pentingnya tarbiyah dan pembinaan keislaman yang utuh. Mereka mencoba memahami manhaj dakwah Rasulullah secara utuh tidak sepotong-sepotong.. Bukan mengambil sebagian kemudian menolak sebagian yang lain. Tak hanya masalah aqidah, fiqih, atau akhlaq sesama manusia namun juga permasalahan ekonomi dan pengelolaan negara. Hal–hal yang prinsip mereka perjuangkan. Mereka menekankan pentingnya bahasa Arab dan mendalami ilmu pengetahuan agama. Begitupun dalam hal ibadah hampir selalu terkontrol peningkatan dan perkembangannya tiap pekan. Sehingga dengan pembinaan intensif yang mereka lakukan diharapkan anggota jamaahnya akan memiliki kualifikasi pribadi muslim yang aqidahnyabenar, ibadahnya benar, akhlaqnya kokoh, pengetahuanya luas, fisiknya kuat dan sehat, produktif dalam hal ekonomi, efektif dan efisien dalam manajemen diri dan waktu dan tentu saja, menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain. Jamaah ini berpendapat jika komitmen para anggota terhadap Islam lebih penting untuk membesarkan jamaah ini dari pada penokohan terhadap sosok tertentu yang ada dalam jamaah.

Demikianlah pemaparan keempat jamaah yang cukup mempunyai ruang dalam dakwah Islam. Ada baiknya jika masing–masing jamaah mempunyai pemahaman jika mereka adalah bagian dari jamaah umat Islam yang besar ini sehingga mereka tak akan pernah memaksakan bahwa umat Islam harus satu kubu dan satu suara dengan jamaah tersebut. Sebab yang terpenting adalah bagaimana bagimana jamaah–jamaah Islam ini bersinergi membangun pilar–pilar kebangkitan Islam dengan cara yang santun dan sesuai dengan syariat tapi juga tetap bisa diterima baik oleh masyarakat. Sebab indahnya Islam yang disampaikan sama indahnya dengan para dai yang membawanya, berasal dari manapun jamaahnya. Semoga… [Kembang Pelangi]

*disarikan dari opening buku Mencari format Gerakan Dakwah Ideal karya Dr. Shodiq Amin

Honeymoon di Toko Buku

karena buku adalah lorong_waktu…
dengannya aku bisa "mendengar" dan belajar langsung pada orang-orang terhebat dari berbagai bangsa dan masa…bahkan yg tak mungkin terjangkau oleh umurku sekalipun.

[Sarwo Widodo Arachnida]

“Woow… cocok ini buat honeymoon... ” katanya sambil takjub melihat sekeliling. “Sepertinya tempat ini jadi tujuan pertama setelah akad nikah suatu saat nanti… hi hi hi” tukasnya lebih lanjut sambil terkekeh. Sedang gadis manis di hadapannya hanya bengong memandang dengan tatapan heran. “Dasar memang akhwat antik… masak iya honeymoon di toko buku… apalagi di Gramedia… “ Mungkin itu yang bakal terucap jika tatapan itu diterjemahkan. Hmmm… toko buku jadi tujuan honeymoon… tak terlalu aneh juga… apalagi bagi sepasang kutu buku.

Begitulah hebatnya buku. Ia bisa jadi begitu mempesona… apalagi bagi yang begitu menyukainya. Tak hanya itu, buku itu terkadang bersifat magis. Ia begitu ajaib… ia tak hanya jadi jembatan penghubung bagi beragam ide dan ilmu antar generasi. Tak jarang buku jadi sarana provokasi yang cukup ampuh. Buku menjadi sangat tangguh untuk memberi pengaruh bahkan boleh jadi membalik sudut pandang berfikir bagi pembacanya. Ia bisa jadi bermata dua, berimbas positif atau negatif.

Sejarah telah mencatat… tak berbilang buku yang berjajar merebut simpati pembaca sebagai bacaan paling favorit dan paling laris sepanjang masa. Sebut saja novel Harry Potter karangan JK. Rowling, siapa manusia di belahan bumi ini yang tak mengenalnya. Novel yang setiap serinya ditunggu kedatangannya. Begitu pula adaptasi filmnya di layar lebar hampir selalu tak kehilangan penggemar. Tak heran jika pengarangnya mendadak menjadi kaya raya ketika karya-karyanya menjadi fenomena. Dan novel ini tak sendiri tak sedikit pula karya fiksi lain yang mengiringi seperti Da Vinci Code karya Dawn Brown, The Lord of the Rings, dan Novel klasik The Alchemist yang terbaca dan terjual paling sedikit 50 juta copy di seluruh dunia.

Jangan salah, tak hanya buku fiksi yang mendapat sambutan yang hangat. Buku non fiksi juga layak mendapat tempat. Buku Merah, demikian orang ramai menyebutnya. The Little Red Book (Quotations from Chairman Mao Tse-tung) adalah salah satu buku non fiksi yang cukup mencengangkan sebagai salah satu buku yang paling banyak dibaca sepanjang masa. Terjual 830 juta eksemplar di seluruh dunia dan diterjemah dalam berbagai bahasa. Buku ini adalah antologi kutipan yang diambil dari tulisan dan pidato Mao Tze Tung (Mao Ze Dong) tokoh komunis Cina. Sebagaimana dikatakan tadi buku adalah jembatan ide, demikian pula buku satu ini jadi penyambung lidah bagi tokoh komunis tersebut untuk menamkan dan memperluas jaringan ideologinya pada generasi selanjutnya. Tak mengherankan jika antara tahun-tahun 1966 dan 1971 adalah merupakan suatu keharusan bagi setiap orang Cina dewasa memiliki dan membaca buku tersebut.

Jika kisah fiksi yang terkadang lebih fasih disebut cerita mimpi dan ideologi semacam komunis menjadikan buku sebagai sumber dan sarana propaganda “manhaj” mereka. Maka adalah sebuah kewajaran atau lebih tepatnya keharusan jika dakwah Islam dan para da’i untuk berkawan baik dengan buku sebagai sumber dan sarana penyampai “manhaj Islam” dari generasi ke generasi. Sebab, hal itu tentu sangat relevan dengan ayat-ayat perdana yang Allah turunkan kepada Rasul terakhirNya.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptkan. Dia telah menciptakan manusia dari (sesuatu) yang melekat. Bacalah !,dan Tuhanmu Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al Alaq 1-5)

Umat muslim, khususnya yang menyandang gelar sebagai da’i penerus risalah para anbiya’ sebaiknya tidak menjauhi apalagi alergi dengan 2 hal ini yakni membaca dan buku. Dengan membaca, otomatis akan semakin memperkaya keilmuan yang dimiliki dan diharapkan nantinya mampu memberi maslahat bagi diri pribadi dan ummat tentunya. Dengan membaca, mereka dapat menelusuri kembali jejak–jejak sejarah kejayaan Islam dengan harapan mampu memunculkan azzam untuk menegakkannya kembali. Dengan membaca, tentu akan menambah khazanah hujjah saat mencoba mencari solusi atas suatu masalah terutama masalah fiqih atau semacamnya. Dengan banyak membaca, seorang muslim akan mampu berbagi banyak pengetahuan baru pada saudara sesama muslim lainya yang belum tahu. Dengan begitu kemanfaatan seorang individu bagi ummat semakin meningkat dan Sabda Nabi tak hanya jadi slogan basi.

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain
(HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni.)

Dan 2 hal tersebut adalah kebiasaan para generasi muslim terdahulu bahkan mereka tak sekedar membaca, mereka pula penulis dari buku–buku terkenal yang bermanfaat bagi generasi muslim masa kini. Bahkan tak sedikit pula buah karya mereka menjadi rujukan bagi kaum non muslim. Sebut saja beberapa contohnya seperti, Al Qanun Al-Tibb yang di Barat dikenal dengan The Canons karya Ibnu Sina yang menjadi rujukan wajib bagi dunia kedokteran. Kemudian, Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih) dan Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran) karangan Ibnu Rusydi yang tak kalah populer. Atau, tulisan–tulisan Al Khwarizmi sebagai penemu Al jabar dan angka nol yang begitu penting di dunia matematika modern. Mereka contoh nyata bagaimana Islam sejatinya tak pernah terpisahkan dengan ilmu, membaca dan buku.

Begitupun para pembesar baik di negeri ini maupun belahan dunia sana hampir tak ada yang berjarak dengan buku. Sebutlah Soekarno, bung Hatta, Habibie, Mao Tze Tung, Lenin, dan bahkan Hitler sekalipun. Mereka semua akrab dengan buku. Jadi, jika boleh digaris bawahi bahwa membaca buku turut menjadi salah satu variabel yang mendorong mereka menjadi orang–rang besar di zamannya.

Maka, sekali lagi tak boleh ada kata alergi dalam hal membaca buku bagi generasi muslim masa kini. Sebab salah satu pilar kebangkitan Islam adalah ilmu. Yang bisa jadi kebangkitan dan kejayaan Islam itu akan terasa semakin dekat jika kita akrab dengan salah satu sumbernya ilmu yakni buku.

Tak akan menyesal orang- orang yang menghabiskan waktu dengan membaca buku. Jika tidak sekarang, besok lusa boleh jadi akan bermanfaat apa yang dibacanya tersebut.
(Tere Lije)

Minggu, 11 Agustus 2013

Administratif Surat Nikah


Artikel berikut saya dapatkan dari wolipop.com. Sengaja saya salin di sini sebenarnya untuk bookmark untuk diri sendiri, siapa tau nanti-nantinya butuh #eeaa

Artikelnya adalah tentang cara mengurus surat nikah di KUA. Berikut artikelnya.
Di tengah persiapan mengurus catering, busana, sampai dekorasi, jangan sampai lupa mengurus surat nikah.

Surat nikah merupakan tanda bukti resmi kalau pernikahan Anda dan pasangan telah sah dan dicatat oleh negara. Memang banyak calon pengantin yang enggan mengurus sendiri surat nikah karena kesibukan atau malas membayangkan prosesnya yang rumit. Biasanya mereka menyerahkan hal tersebut kepada keluarga atau orang kepercayaan.

Nah, untuk yang ingin mengurus sendiri berikut tata caranya pengurusan surat nikah di KUA untuk pasangan beragama Islam:
  1. Tentukan Tempat Menikah
  2. Sebelum mengurus surat nikah, tetapkan dulu dimana Anda akan menggelar akad nikad. Lokasi akad nikah ini nantinya akan berpengaruh dalam pengurusan surat nikah. Jika akad nikah akan digelar di area domisili calon pengantin wanita (CPW) maka nanti calon pengantin pria perlu mengurus surat numpang nikah. Jika akad nikah digelar bukan di area domisili CPW maupun calon pengantin pria (CPP) maka dua-duanya perlu mengurus surat numpang nikah.
  3. Waktu Mengurus Surat Nikah
  4. Menurut keterangan di situs resmi KUA Pasar Minggu, surat nikah wajib diurus selambat-lambatnya 10 hari sebelum berlangsungnya akad nikah. Jika pernikahan Anda sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, tak ada salahnya mulai mengurus dari 1-2 bulan sebelum pernikahan. Hal ini agar Anda bisa mendapat penghulu yang sesuai dengan jam akad nikah yang Anda inginkan. Apalagi jika Anda menikah di waktu yang ramai, ada kemungkinan jadwal para penghulu sudah mulai padat terisi.
  5. Surat-surat yang Perlu Disiapkan
    • Foto Copy KTP, siapkan sekitar 4 lembar untuk masing-masing pengantin
    • Foto Copy Kartu Keluarga, siapkan sekitar 4 lembar untuk masing-masing pengantin
    • Pas Photo Calon Pengantin, berukuran 2×3 masing-masing 4 lembar & 3×4 masing-masing sekitar 4 lembar. Jika menikah beda pulau, siapkan paling tidak 10 lembar
    • Bagi yang berstatus duda/janda, lampirkan surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama/Negeri
    • Surat dispensasi dari Pengadilan Agama khusus untuk calon pengantin yang berusia kurang dari 19 tahun (laki-laki), kurang dari 16 tahun (perempuan), atau laki-laki yang akan berpoligami
    • Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan
    • Ijazah terakhir (ada beberapa KUA yang mensyaratkan, tergantung masing-masing KUA)
    • Materai sekitar 6 lembar
  6. Proses Pengurusan Surat Nikah
  7. Masing-masing pengantin harus mengurus surat nikah dengan proses sebagai berikut:
    • Menuju RT dan RW setempat untuk mengurus surat pengantar (dokumen: fotokopi KTP 2 lembar)
    • Setelah mendapat surat pengantar, CPW dan CPP mengurus surat N1, N2, dan N4, dan surat keterangan belum menikah ke kelurahan tempat tinggal masing-masing (dokumen: pasfoto 3×4 = 2 lembar, fotokopi KTP CPW & CPP 2 lembar, fotokopi KK CPP & CPW 2 lembar, surat pengantar RT/RW). Untuk dokumentasi sebaiknya fotokopi surat N1, N2, N4, dan surat keterangan belum menikah.
    • Surat N1, N2 dan N4 kemudian dibawa ke KUA kecamatan masing-masing CPP dan CPW untuk mengurus surat rekomendasi nikah. Jika CPP atau CPW tidak melangsungkan pernikahan di KUA domisili maka perlu mengurus surat numpang nikah.
    • Jika perlu mengurus surat numpang nikah, maka surat rekomendasi dari KUA masing-masing CPP dan CPW setempat dibawa ke KUA kecamatan tempat Anda menikah. Di situ Anda akan melakukan pendaftaran pernikahan, diberi tahu ketersediaan penghulu yang akan menikahkan, serta diberi pembekalan tentang pernikahan. (dokumen: surat rekomendasi nikah dari KUA domisili, pasfoto 2×3 = 4 lembar, dan surat-surat lain dari KUA setempat).
    • Setelah bertemu dengan penghulu yang akan menikahkan Anda, jangan lupa meminta nomor telepon dan alamat rumah penghulu tersebut untuk penjemputan. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar pernikahan Anda berjalan lancar.
    • Total pengurusan biaya surat nikah dari keluarahan sampai KUA sekitar kurang lebih Rp. 200 ribu di luar biaya penghulu. Untuk biaya penghulu biasanya disampaikan langsung oleh penghulu masing-masing. Jumlah tersebut sebaiknya dibayar separuhnya sebelum nikah lalu dibayar sisanya usai akad nikahnya. Biaya penghulu ini jumlahnya bervariasi mulai dari Rp 200 ribu sampai Rp 1,5 juta.
    • Sekitar satu minggu atau 3 hari sebelum waktu akad nikah, tak ada salahnya menghubungi penghulu untuk mengingatkan.
  8. Simpan Rapih Dokumentasi
Kurang lebih, demikian proses mengurus surat nikah secara umum. Di beberapa tempat mungkin ada beberapa aturan yang berbeda sedikit. Setelah proses mengurus surat selesai, simpan rapih dokumentasi surat tersebut. Percayakan kepada salah satu anggota keluarga atau teman dekat untuk berhubungan dengan penghulu di hari H. Anda sebagai pengantin tentu tak mungkin sibuk mengurusnya. Jangan lupa ingatkan kepada orang yang ditunjuk agar ia juga bertanggungjawab menyimpan buku nikah Anda usai akad nikah.

COPAS