#repost statusnya EDCOUSTIC
Hari I
“Jadi bagaimana Pak keputusan terakhirnya…?” Zahra bertanya to the point memecah kebisuan yang merebak di antara keduanya. Bapak, orangtua yang tinggal satu-satunya dengan dirinya, putri pertama yang dikenal penurut.
“Bolehkah….?”Lanjutnya saat belum jua terdengar suara.
“Tidak…” ucap si Bapak perlahan seperti takut jawabannya akan menyakitkan.
“Apakah benar- benar tak bisa dinego…?” Zahra coba kembali mengais kesempatan.
“Sudah bapak bilang tidak… sudah bapak timbang baik-baik beberapa hari ini, tak mungkin kulepas putriku pada lelaki yang tak bisa tiap hari pulang karena pekerjaan, dan terlebih lagi tak sebanding antara pengorbanannya dan gaji yang ia terima… pendidikanya juga biasa saja… keluarga dan kerabatnya jauh tak mudah ditemui untuk silaturrahmi… berat… ”lanjut bapak menjabarkan sederet alasan.
“Apa benar-benar tidak bisa…”Zahra kembali memastikan.
“Tidak…” jawab bapak singkat.
Zahra diam tidak membantah.
Hari II
“Bapak bilang tidak boleh… benar seperti yang diperkirakan… pekerjaan antum yang jadi simpul penghalang…” Zahra mengabarkan pada Syam, Si Lelaki Cahaya.
“Ya sudah tidak apa-apa… kewajiban anak patuh dan nurut dengan orang tua…” bijak Syam memberi jawaban.
“Saya akan coba perjuangkan lagi...” Zahra memberi harapan.
“Wajar seorang ayah ingin yang terbaik untuk putrinya… ada baiknya anti mencari keridhoan orang tua… ikhtiar sudah dilakukan… apapun hasilnya… pasrahkan saja padaNya… ” lanjut Syam
“Baik… InsyaAlloh Jum’at besok saya kabari…” Zahra mengakhiri.
Hari III
“Maaf Pak, untuk kali ini saya kurang sepakat dengan keputusan Bapak… bagi saya alasan penolakan yang Bapak utarakan jujur hingga saat ini belum bisa saya terima… sekeliling saya merekomendasikan dengan lelaki karakter seperti itu… terlalu sayang untuk dilepaskan… beliau mau menerima kekurangan fisik dan gangguan kesehatan yang saya derita… dan yang terpenting beliau bisa menerima “dunia dakwah” yang saya geluti dengan segala konsekuensinya… maaf Pak untuk kali ini saya kurang sepakat… apa benar-benar keputusan bapak tidak bisa dipertimbangkan ulang…?” Zahra memberanikan diri menyampaikan pendapatnya.
“Ridho Bapak adalah syarat yang utama… beliau tidak memaksa… terserah Bapak… hanya ikhtiar kemudian pasrah saja..”Zahra melanjutkan.
“Baiklah… Bapak anggap kamu sudah siap dan memikirkan semua resiko yang akan kalian hadapi… silahkan… bapak ridho…” Bapak memberikan keputusan akhirnya.
Hari ini
Ijab Qobul pernikahan sudah terjadi, hidup bersama sudah mulai dijalani.Si Bapak dan Zahra hanya bisa bersyukur memilih Syam, sang lelaki cahaya sebagai bagian keluarga. Lelaki yang berusaha sholat berjamaah di setiap fardhunya. Berlama-lama saat ruku dan sujudnya. Menjaga wudhu di setiap waktu matanya terbuka. Dan berusaha tidak lupa sujud tilawah setiap ayat sajdah yang ia temui ketika mengaji. Dan semua itu jauh lebih menentramkan dari pada seraut wajah yang tampan, bergelimangnya kekayaan, atau baiknya nasab keturunan. Tak akan kecewa yang menikah atas dasar pilihan agama.
Waaaah… panjang juga kisah pembukanya. Tak penting ini kisah fiksi atau nyata. Ibrohnya, sepertinya sebagian pembaca sudah bisa menduga.Ya, tentang bagaimana menetapkan standar kriteria dalam urusan pernikahan. Baik bagi yang menjalani maupun yang terbebani kewajiban mencarikan jodoh untuk putra dan putri tercinta. Banyak dari kita sudah tahu secara teori, bagaimana Islam menuntun umatnya.
“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi rupanya untuk tataran aplikasi, tak bisa dipungkiri masih banyak orang tua dan “calon pengantin” yang pilih-pilih atau terlalu berlebihan menetapkan standar kriteria. Harus putih, tinggi , mulus wajah dan kulitnya, keturunan ningrat, strata satu minimal pendidikannya, jelas hitungan gaji per bulannya, apa tipe dan merek kendaraan yang dimilikinya, berapa meter persegi luas rumah dan aset pribadinya. Waah saya terlalu berlebihan sepertinya menyebutkannya. Bukan berarti tidak boleh, tentu sah–sah saja. Semua hal yang baik-baik itu bisa dimasukkan dalam list kriteria kita. Tapi apakah sudah tepat urutan yang kita pakai saat membuat standar kriteria. Apakah akhlak dan agama menempati urutan pertama atau sebaliknya justru menempati urutan paling buncit… paling akhir. Mana yang lebih kita dahulukan pertimbangan duniawi atau pertimbangan akhirat.
Padahal jika kita rasional, mana yang lebih awet “daya tahan” dan “daya guna” nya bagi kita. Yang bersifat duniawi dan materi seperti keindahan fisik dan berlimpahnya harta atau indahnya akhlak dan iman yang terjaga. Dua yang pertama masa menikmatinya berbatas waktu. Sebaliknya dua yang selanjutnya saya kira lebih bisa tahan lama. Lebih bisa berguna bahkan saat kita sudah tidak lagi di dunia. Akhlak yang indah dan iman yang terjaga lebih berpotensi mendorong seorang manusia untuk mendulang banyak pahala. Dan itu bekal yang sejatinya kita bawa sesudah akhir dunia. Dan kehidupan sesudah dunia itu jauh lebih lama. Sebagaimana kata hikmah dari Fanpage tim Nasyid ternama EDCOUTIC di atas.
Menikah itu bukan hanya urusan dunia saja, Sayang. Menikah adalah perkara yang juga akan dibawa di akhirat kelak. Makanya,pertimbangannya juga tidak boleh hanya pertimbangan duniawi saja. Bahkan seharusnya, pertimbangan akhirat yang memiliki bobot yang lebih tinggi. Karena kita akan hidup lebih lama di akhirat daripada di dunia, bukan?
Soal itu Allah sudah jelas-jelas menerangkan dalam firman Nya
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
(QS. Al-Ankabut ayat 64)
Baiklah sedikit saran telah selesai disampaikan. Untuk para orang tua dan “calon pengantin” akankah tertarik mengubah nomor urutan standar yang telah ditentukan…? Well…di tangan andalah letak semua keputusan dan pilihan. Wallahu’alam bish shawab. [Kembang Pelangi]